omgitsuru

Bisa dikatakan ini adalah pertama kalinya Bertholdt dan Ymir bertemu di luar kampus, walaupun tujuannya untuk berdiskusi tentang kegiatan Himapa juga. Mereka janjian setelah jam kuliah pagi, yaitu di waktu istirahat makan siang. Karena mereka berbeda jurusan dan gedung perkuliahan, Bertholdt menunggu di taman dekat gerbang kampus sampai Ymir datang. Setelah saling bertemu, Ymir segera mengajak si pemuda berjalan kaki menuju kafe yang sudah mereka sepakati.

The Titan Cafe adalah tempat nongkrong yang cukup populer di kalangan mahasiswa Universitas Paradis. Selain itu, Ymir dan Historia sudah cukup sering mengunjungi kafe itu karena tempatnya cozy, makanannya enak, harganya ramah di kantong mahasiswa, dan punya akses wifi yang cepat.

Ymir memilih tempat yang agak di pojok untuk mereka berdua. Lalu, dia memanggil pelayan untuk memesan makanan.

“Eh, Sandra. Lagi shift-nya lu, ya?”

Pelayan itu adalah teman sejurusan Ymir di kampus.

“Hi, Ymir! Iya, nih. Mau pesen apa?”

Kemudian Ymir menyebutkan menu yang diinginkannya, diikuti oleh Bertholdt.

“Tumben banget hari ini ga sama Historia.”

“Gue lagi diajak nge-date noh sama dia,” ucap Ymir sambil menunjuk ke arah Bertholdt menggunakan bibirnya.

Nge-date. Mendengar hal itu membuat pipi Bertholdt sedikit bersemu. Jika dipikir-pikir lagi, yang mereka berdua lakukan sekarang memang seperti berkencan. Padahal, niat awalnya tentu tidak seperti itu.

Bertholdt tidak berkomentar apapun karena sepertinya Ymir memang hanya bercanda saja kepada temannya dan tidak terlalu menganggap ucapannya barusan penting.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Ymir membuka percakapan duluan.

“Jadi apaan nih yang mau didiskusiin?”

Bertholdt mulai mengeluarkan tablet dan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya. Walaupun dia mengajak Ymir pergi berdua dengannya karena permintaan Reiner, kebetulan memang dia ada bahan pembicaraan terkait tugas mereka sebagai sesama anggota biro di Himapa.

Selama beberapa menit mereka berdiskusi, sebetulnya lebih banyak Bertholdt yang berbicara dibandingkan Ymir. Mata si gadis tomboy terlihat tidak terlalu fokus pada apa yang Bertholdt sampaikan. Bahkan ketika makanan dan minuman mereka tiba, Ymir terlihat tidak terlalu menikmatinya. Hal itu baru Bertholdt sadari ketika dia melihat mata Ymir yang mengarah kepadanya— bukan, tapi lebih tepatnya ke pemandangan di belakang Bertholdt.

“Ymir?” tanya Bertholdt akhirnya, yang membuat si gadis tomboy sedikit tersentak. “Dengerin ga dari tadi?”

“...dengerin. Dengerin, kok.”

Karena penasaran, Bertholdt pun menoleh ke arah belakangnya. Dan betapa terkejutnya dia. Ternyata yang dari tadi diperhatikan Ymir adalah Reiner dan Historia yang juga sedang makan di kafe yang sama. Mereka berdua terlihat sangat akrab. Historia beberapa kali tertawa, dan sesekali tersipu, mendengar Reiner berbicara dengan wajah yang tidak kalah tersipu. Mereka berdua terlihat sangat menikmati waktu bersama di sana.

Bertholdt gelagapan melihat itu semua. Rencananya gagal total. Bukannya menjauhi Ymir dari Reiner dan Historia, dia malah membawanya ke tempat mereka berkencan. Tapi kalau diingat lagi, yang menyarankannya kafe ini adalah Ymir sendiri. Lalu, apakah Ymir sudah mengetahui lokasi Reiner dan Historia akan berkencan? Jangan-jangan dia malah sengaja memilih tempat kafe ini supaya bisa memata-matai mereka berdua?

“Um, Ymir… Itu…”

“Iye. Si bagong ngajak Historia nge-date hari ini. Lu pikir gue ga tau?”

Tuh, kan.

Let me guess. Lu ngajak gue pergi supaya gue kepisah dari Historia, dan supaya gue ga gangguin mereka. Bener gitu, kan?”

Bener buanget.

“Hahah, preeet. Ya gue tau, lah. Kan Historia itu roommate gue. Dia udah ceritain semuanya, termasuk rencana dia nge-date hari ini. Masa bisa sih kebetulan sama lu, pawangnya si Bagong, yang ga pernah ngajak-ngajak gue pergi ini tiba-tiba aja ngajak?”

Bertholdt mengusap-usap tengkuknya sambil tersenyum kecut, merasa sangat tidak enak. Ymir sedikit mendengus tertawa, tapi kemudian wajahnya berubah jadi lebih mellow. Sambil menghela napas panjang, dia pun bertanya pada si pemuda bongsor.

“Reiner orangnya kayak gimana?” tanya Ymir sambil mengaduk-aduk Es Jeruk Kelapa miliknya.

Bertholdt tadinya sudah bersiap akan menghentikan Ymir kalau-kalau si gadis mengamuk di meja Reiner dan Historia. Tapi ternyata tidak demikian, dan malah Ymir seperti membuka sesi wawancara kepadanya. Dan dia paham maksudnya Ymir menanyakan hal tersebut.

“Dia cowok baik, sih. Ga gampang nyerah kalo udah punya keinginan. Sekalinya jatuh cinta, bisa bucin banget. Dia cuma pernah pacaran sekali waktu SMA, itu pun dia diputusin karena ceweknya risih dibucinin terus. Padahal, dia kalo kasih perhatian itu bisa berlimpah-limpah,” jawab Bertholdt, jujur. Bukan hanya karena Reiner adalah sahabat terbaiknya.

“Hm… Ada lagi?”

“Dia setia. Ga genit. Royal. Ga pernah nyakitin cewek.”

“Hm…”

“Gue liat Hisu ini tipe cewek yg malah seneng dibucinin ga sih? Maksud gue, dia kayaknya seneng dapet perhatian lebih dari orang yang sayang sama dia. Gue karena liat lu, sih. Lu kan perhatian banget sama dia, dan dia nyaman-nyaman aja, kan? Dia juga ramah banget, imut-imut, beneran tipenya Rei banget. Makanya menurut gue mereka cocok.”

“Oh, gitu.” Ymir memainkan potongan roti bakar di piringnya dengan garpu.

“Ymir keberatan ga kalo Rei deketin Hisu? Dia sayang banget lho sama Hisu.”

Gue yang lebih sayang sama Hisu.”

“Oh. Oke, gue ngerti.”

“Ga, lu ga ngerti,” ujar Ymir sambil menghela napas lagi.

Dengan sabar Bertholdt menunggu si gadis melanjutkan bicaranya sambil mengunyah nasi goreng.

“Gue cuma mau buat dia bahagia. Gue pikir gue bisa lakuin itu semua sendiri. Tapi, setelah Reiner muncul, dia bisa perlakukan Hisu layaknya ratu banget. Padahal, dia udah gue bohongin, gue ketusin, gue bentak, dan segala macem, tapi dia ga nyerah. Dia tetep gigih deketin Hisu. And you know what? Hisu juga jadi happy banget akhir-akhir ini. Kalo udah gini, masa masih gue halang-halangi? Ya gue akhirnya yang nyerah, lah.”

Sambil memangkukan tangan pada dagunya, Ymir memperhatikan kebersamaan dari 2 sejoli di ujung meja sana dan menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Bertholdt kali ini asik menghirup Es Cappucino andalan kafe itu.

Beberapa detik tidak ada percakapan di antara mereka, tiba-tiba Ymir berbicara kembali.

“Jadian yok, Bert.”

Ajakan tiba-tiba itu membuat Bertholdt tersedak minumannya sendiri. Ymir menawarkan tisu sambil menertawakan Bertholdt yang masih terbatuk-batuk.

“Dahahahah! Anjir, ngape lu, ngab? Kaga ngape-ngape, kan?”

“I-iya, ga apa-apa.”

“Jadi gimana? Mau, ga? Mau lah, ya.”

Bertholdt mengusap sekitaran mulutnya yang belepotan es kopi, matanya terbelalak.

“K-kok tiba-tiba??”

“Nanti kalo mereka berdua jadian, lu ga kehilangan Reiner? Ga kesepian?”

“Bukan gitu, Ymir… Tapi…”

Ya masa hanya dengan begitu bisa langsung dijadikan alasannya jadian sama Ymir??

“Yaudah ayok, lah. Jadian sama gue.”

“Tapi kenapa—”

“Emang gue sejelek itu, ya?”

“Ga gitu, Ymir. Ga gitu.” Sangat bohong kalau bilang Ymir jelek. Malahan sebaliknya.

“Terus? Lu masih mau ngejar Annie?”

Bertholdt sedikit terperanjat mendengarnya, lalu menengok ke kanan dan kiri karena takut ada yg mendengar mereka. Itu adalah rahasia yang hanya diketahui dirinya dan Reiner. Kenapa Ymir bisa tahu?

“Ssssttt Ymir jangan keras-keras, please. Malu.”

“Hahaha… Tuh kan bener. Lu sering liatin Annie sampe lamaaa gitu. Jelas banget kali. Emang lu mau ngejar dia? Lawan lu Armin lho, Sang Ketua Himapa andalan kita semwah.”

“Y-ya ga mungkin, lah…”

“Makanya. Sama gue aja, yok. Gue available, nih. Eheheh…”

Runtuh sudah pertahanan Bertholdt bila Ymir sampai mengungkit perasaannya kepada Annie. Pikirannya langsung blank. Dia seperti tidak sanggup lagi untuk melawan argumen dari si gadis sipit nan manis itu.

Sudah sekitar 20 menit Reiner mengoceh kepada sahabatnya Bertholdt saat mereka makan siang di kantin kampus. Sampai-sampai dia tidak sadar mie ayamnya sudah mengering dan jadi keras.

“Pernah juga sekitar 2 minggu lalu atau kapan gue lupa, gue nungguin Hisu depan kelasnya. Karena sebelumnya Ymir bilang kalo kelas mereka di situ, jadi gue tunggu aja di depannya. Gue pikir, wah, tumben gue dibantu dia. Gue tunggu di jam-jam mau selesai, taunya pas anak-anak udah bubar semua ga ada tuh Hisu maupun Ymir. Itu kelas ternyata bukan kelas mereka. Aslinya kelas mereka di gedung lain, bukan di situ. Gue dibohongin, jing.”

Bertholdt mendengarkan cerita sahabatnya sambil tertawa-tawa, dan mendapat tepukan keras pada bahunya oleh Reiner.

“Kampret. Sohib lu dikerjain ama tuh nenek lampir malah lu ketawain.”

“Ya anggep aja itu bentuk perjuangan lu, Rei. Kalo gampang dapetinnya nanti malah kurang seru.”

“Iya, sih. Tiga bulan ini gue non-stop deketin Hisu. Walaupun selalu ada Ymir di sampingnya, gue ga pernah gentar. Dan akhirnya, mulai keliatan hasilnya. Kayaknya kalo gue eksekusi secepatnya, gue bakal diterima. Tapi untuk itu, gue butuh bantuan lu, ngab.”

“Apaan?”

“Selama ini gue intens chat-chat-an sama Hisu, sama sesekali teleponan. Tapi, gue belum pernah sekalipun jalan berdua aja sama dia. Pernah sekali doang, tapi ada Ymir. Karena itu gue mau kali ini jalan berdua aja sama Hisu.”

“Terus?”

Reiner mengalungkan lengan besarnya ke bahu Bertholdt.

“Bisa ga besok lu ngajak Ymir jalan?”

“...hah?”

“Satu-satunya cara supaya Ymir ga ngintilin Hisu melulu ya dengan ngalihin perhatian dia. Kalo dia jalan ke tempat lain sama orang lain, perhatiannya ga ke Hisu, kan. Karena itu, gue minta bantuan lu, sob. Besok gue mau ngajak Hisu nge-date sekalian mau nembak dia kalo situasi memungkinkan. Berarti, besok juga gue minta bantuan lu supaya lu ajak Ymir pergi ke mana kek biar dia ga recokin rencana gue.”

“Tapi… kenapa gue?”

“Ya karena lu my Bro. Lagian lu bukannya udah akrab sama dia? Satu biro, kan? Dan sering kerja bareng dia, kan? Bilang aja lu mau diskusiin apa kek gitu.”

Awalnya Bertholdt sedikit berat untuk memenuhi permintaan Reiner yang kali ini. Bukan apa-apa, tapi seumur hidupnya dia tidak pernah mengajak perempuan manapun untuk pergi berdua saja dengannya. Walaupun ini hanyalah seorang Ymir, orang yang sudah cukup akrab dengannya sejak beberapa minggu kenal, tetap saja hal itu membuat Bertholdt gelisah.

Tapi ini adalah kesempatan sahabatnya untuk mendapatkan gadis yang dia idam-idamkan selama ini. Bertholdt tidak tega untuk menghancurkan kesempatan itu. Apalagi dia tahu, Reiner benar-benar tulus menyayangi Hisu.

“Lu lagi ngapain, His?”

Si gadis yang ditanya tidak menjawab pertanyaan tersebut. Dia sedang telungkup di atas tempat tidurnya, asyik bermain dengan ponsel. Sepertinya dia sedang melakukan chat dengan seseorang.

“Oi, Historia.”

Panggilan kedua dari Ymir akhirnya menyadarkan si gadis.

“Hm? Ah, maaf, Ymir. Tadi ngomong apa? Aku ga ngeh, hehe.”

“Lagi ngapain?”

“Lagi… bales chat.”

“Sama siapa, sih? Asik bener.”

“Ada, deeehh.”

Ymir yang duduk berseberangan dengan Historia di atas kursi belajarnya pun memanyunkan bibirnya.

Sudah beberapa minggu terakhir ini Historia suka asyik sendiri dengan ponselnya. Dia bisa berlama-lama menatap ponselnya sebelum tidur sambil senyum-senyum sendiri atau terkadang sambil tertawa.

Historia yang biasanya bersemangat menceritakan hal apapun padanya, belakangan terlihat lebih memilih ponselnya ketimbang sahabatnya itu. Tentu saja, Ymir cemburu.

Memang betul, bahwa selama ini banyak sekali pemuda di kampus yang mencoba peruntungan mereka mendekati seorang Historia, sang primadona kampus. Tapi mereka semua rata-rata mundur teratur karena keberadaan Ymir. Ymir-lah yang selalu menyeleksi siapa orang-orang yang pantas mendekati sahabatnya itu.

Akhir-akhir ini, ada satu pemuda yang tidak gentar mendekati Historia biarpun sudah berkali-kali dihajar oleh Ymir.

”...Reiner, ya?”

“Kok tau??”

Historia langsung duduk dari posisi berbaring sebelumnya, sambil memasang wajah sumringah.

“Ya… siapa lagi?” tanya balik Ymir kepada Historia. “Cuma dia yang bertahan kayaknya.”

Si gadis mungil cekikikan mengingat banyak pemuda yang ditolak Ymir untuk mendekatinya.

“Tau, ga? Baru kali ini aku dideketin cowok yang dengan pedenya bilang ke aku kalo dia yakin aku jodohnya. Awalnya geli, hahaha. Tapi ternyata dia serius dong, Ymir! Dia ga nyerah walau kamu sering banget ngehalang-halangin dia.”

”...oh. Gitu.”

“Orangnya kan nyeremin ya keliatannya. Kayak bapak-bapak gitu ga sih mukanya? Hahaha tapi ternyata lucuu. Sama so sweet jugaa.”

Uh-oh. Historia sepertinya terpikat oleh umpan Reiner.

“Aku sih yakin dia orangnya baik. Ymir, ga apa-apa kan kalo aku coba sama dia?”

Ymir hanya terdiam sambil mengangguk pelan. Baru kali ini Historia berseri-seri karena orang lain selain dirinya. Ymir merasa tersaingi, atau bahkan kalah. Walau dia senang melihat Historia senang, tapi di sisi lain hatinya pun berdenyut dengan pedihnya.

Sekitar 1 bulan sudah berlalu. Selain kegiatan perkuliahan yang berjalan normal, Bertholdt juga bertambah kegiatan baru di Himapa, tepatnya sebagai anggota dari Biro Penelitian dan Pengembangan. Salah satu tugas utamanya adalah membuat database terhadap seluruh kegiatan dan survei dari masing-masing biro dan departemen. Secara tidak disangka, dia cukup menyenangi kegiatan di himpunan. Karena, selain dia suka dengan hal yang berbau data, dia juga mendapatkan teman-teman baru. Bertholdt adalah pemuda yang introvert dan agak pemalu, tapi dia sudah dekat dengan teman-teman barunya sesama anggota biro itu. Selain Annie (tentu saja), beberapa di antaranya yang sudah cukup akrab juga dengannya adalah Frank, Hannah, Marlowe, dan Ymir. Dan di antara mereka semua, anggota yang paling sering dipasangkan dengan Bertholdt untuk mengerjakan tugas biro adalah Ymir.

Bicara soal Ymir, impresi awal Bertholdt terhadap si gadis sipit ketika berkenalan dengannya adalah gadis yang tomboy, cuek, dan memiliki gaya bicara yang khas. Komentar-komentar yang dilontarkannya kadang pedas tapi kadang juga jenaka. Secara mengejutkan, Bertholdt yang awkward ternyata bisa cocok mengobrol dengan Ymir walaupun hal yang dibicarakan berkaitan dengan tugas mereka di Himapa. Ymir juga cukup kooperatif bila diajak bekerja sama. Secara umum Bertholdt cukup menikmati berinteraksi dengannya.

Untuk circle pertemanan, selain Bertholdt sering melihat Ymir bergaul dengan Connie dan Sasha yang merupakan anggota Departemen Olahraga seperti Reiner, paling utamanya adalah Ymir terlihat selalu bersama dengan Historia, di mana pun dan kapan pun. Ymir terlihat selalu ingin melindungi Historia. Bisa dibilang bahwa Ymir ini layaknya bodyguard bagi Historia.

Keberadaan bodyguard inilah yang dianggap meresahkan bagi para pemuda yang berusaha mendekati Historia, termasuk Reiner. Sering kali dia mengeluhkan betapa sulitnya berinteraksi dengan si gadis mungil tersebut, dikarenakan selalu adanya sosok Ymir yang seperti siap menerkamnya setiap saat. Beberapa kali Bertholdt juga melihat kejadian itu, dan hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tertawa.

Hanya sesama anggota bironya lah yang bisa melihat sisi lain dari Ymir selain sebagai seorang bodyguard bagi Historia. Bertholdt merasa cukup beruntung karena bisa melihat sisi lain tersebut dan mengenal gadis itu lebih jauh. Bahkan sesekali dia bisa membela Ymir bila Reiner sudah misuh-misuh karena gadis itu. Akibatnya, Reiner mempertanyakan apakah brotherhood mereka terusik dikarenakan gadis itu. Tentu saja, itu hanya bercanda.

Rekrutmen anggota baru untuk Himapa ternyata tidak serumit yang dibayangkan. Dengan sedikit wawancara saja dengan Marco dan Jean, mereka sudah diterima sebagai anggota. Reiner menjadi anggota Departemen Olahraga, sesuai dengan minatnya. Sedangkan Bertholdt menjadi anggota Biro Penelitian dan Pengembangan, seperti Annie.

Mereka berdua juga sudah bertemu dengan Annie. Si gadis pirang menjelaskan bahwa dia merekomendasikan mereka berdua kepada sang Ketua Umum, Armin. Dia mempercayai Annie dan langsung setuju untuk menerima mereka berdua setelah mendengar laporan wawancara dari Marco dan Jean.

Menurut gosip yang beredar, Annie memiliki hubungan spesial dengan sang Ketua Umum. Hampir semua hal yang direkomendasikan oleh Annie pasti dikabulkan olehnya. Mereka juga sering terlihat berdiskusi berdua.

Bertholdt beranggapan, mana mungkin dia bisa menyaingi Armin? Pemuda itu memang lebih pendek tubuhnya daripada Bertholdt. Tapi, hal-hal lainnya sudah jelas mengalahkannya. Armin secara akademis tidak perlu diragukan lagi. Dia juga jago berorasi, sangat persuasif, percaya diri, dan mau mengambil resiko. Hal-hal itu yang tidak ada pada diri Bertholdt. Mungkin karena itulah, Annie menyukai Armin.

Oke, itu baru gosip. Tapi masuk akal bila dia tidak akan bisa mengalahkan Armin untuk mendapatkan Annie. Memikirkannya saja sudah bisa membuat Bertholdt pundung seharian. Padahal baru saja dia menjadi anggota himpunan, tapi dia merasa menyesal sudah ikut. Karena, bisa saja dia akan melihat pemandangan yang tidak mengenakkan hatinya setiap kegiatan himpunan, yaitu kedekatan Annie dan Armin.

Seperti langsung mengerti kegelisahan hati Bertholdt, Reiner menepuk pundak si bongsor. Saat itu mereka sedang berjalan menuju gedung perkuliahan untuk mengikuti kuliah di jam siang.

“Lu mikirin perkataan Annie tadi, ya?”

“Iya… Kalo bisa sampai kasih rekomendasi langsung ke Ketua Umum gitu, berarti mereka deket banget, kan?”

“Iya sih, mereka deket sejak beberapa bulan lalu kayaknya, karena temen sejurusan Annie si Mikasa itu sahabatnya Armin.”

“Rei, menurut lu, gue mesti gimana?”

“Gimana apanya?”

“Gimana sama perasaan gue ke Annie.”

“Ya menurut lu aja gimana? Lu mau ga memperjuangkan perasaan lu ke dia? Gue liat selama ini lu takut ambil resiko. Lu ga mau ngerusak persahabatan kalian, padahal lu ga tau reaksi Annie bakal kayak gimana kalo lu nembak dia.”

“Iya, sih. Tapi gue ini kan di-friendzone sama dia. Brotherzone, malah.”

“Yaudah kalo lu yakinnya begitu, ya ikhlasin aja dia sama Armin. Gue bilang sih mending lu cari cewek lain deh. Masih banyak kok di luaran sana yang bisa lu pilih. Kayak gue nih mesti lu contoh, akhirnya udah berhasil move on dari mantan gue dulu setelah ketemu Historia.”

“Ga gampang Bro buat move on. Apalagi gue naksirnya udah lama banget.”

“Karena lu ga ada niatan bener-bener untuk move on dari Annie. Bener, ga? Coba deh sekarang lu pelan-pelan ikhlasin dan mulai cari gebetan baru. Lu tuh banyak yang ngefans. Buka donk hati lu.”

“Haha, siapa juga yang bisa ngefans sama cowo cupu kayak gue ini.”

“Lah dia ga percaya. Makanya gaul lah biar pandangan lu lebih luas. Nih dengan lu bergabung ke Himapa, itu udah langkah awal yang bagus. Siapa tau lu nemu jodoh di situ. Kayak gue.”

“Yakin banget lu jodoh lu beneran Historia?”

“1000% yakin. Lu liat ya nanti, gue pasti bisa dapetin Historia. Coming soon.”

“Haha, iya deh.”

Bertholdt berusaha meresapi nasihat Reiner untuk move on dari Annie. Sahabatnya itu benar. Bila dia merasa tidak ada kesempatan untuk mendapatkan Annie, baiknya dia segera mencari pengganti. Tapi, siapa gadis selain Annie yang bisa membuatnya termehek-mehek? Memangnya ada?

Akhirnya, Bertholdt bertemu dengan Reiner di lobi gedung pada jam delapan kurang sedikit. Malah Reiner yang datangnya mepet dari waktu janji. Kemudian, mereka bergegas menuju lantai 3, di mana lantai itu merupakan lokasi markas utama dari Himapa. Di sana mereka sudah membuat janji dengan seorang anggota Himapa lain, yaitu Marco. Marco lah yang akan membantu mereka untuk bisa menjadi anggota Himapa juga.

Mereka bertiga mengobrol sejenak di ruang tunggu. Bertholdt bersemangat menanyakan beberapa pertanyaan kepada Marco, dan bahkan lebih semangat melebihi Reiner.

“Perasaan kemarin lu ogah-ogahan deh masuk Himapa.”

Reiner berkomentar ketika Marco masuk ke dalam ruangan sejenak meninggalkan mereka berdua. Si yang paling bongsor menoleh lalu setengah berbisik.

“Ada Annie.”

“Pantes.”

“Lu sendiri kenapa mau masuk sini? Bukannya lu kurang suka berorganisasi?”

Belum sempat Reiner menjawab, Marco sudah kembali dari dalam ruangan dan mengajak mereka berdua untuk masuk. Ruangan utama Himapa tergolong cukup besar dengan beberapa ruangan lagi di dalamnya. Di bagian tengah terdapat meja besar dan panjang untuk para anggota melakukan pertemuan.

Marco meminta mereka untuk masuk ke sebuah ruangan di sana. Namun baru saja Bertholdt dan Reiner beranjak dari kursi menuju ruangan tersebut, pintu masuk utama terbuka dan dari sana masuklah segerombolan pemuda dan pemudi ke dalam markas Himapa.

“Itu dia mereka. Para Pengurus Inti,” kata Marco kepada mereka berdua.

Memang tidak bisa dipungkiri, aura mereka berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Tiga di antaranya yang paling populer yaitu si cantik Mikasa, sahabat Annie di satu jurusannya, yang menjabat sebagai Sekretaris Umum. Kemudian pemuda yang berdiri paling depan, dan juga merupakan Ketua Umum dari Himapa, yaitu si pirang super pintar, Armin. Di belakangnya ada Eren, si tampan ber-manbun yang menjabat sebagai Wakil Ketua.

Tapi ternyata, bukan para Pengurus Inti-lah yang akan menemui Reiner dan Bertholdt, seperti yang sudah mereka perkirakan sebelumnya. Mereka hanya berlalu sambil tersenyum dan menyapa para anggota sebelum menuju ke ruangan lain.

Bertholdt memperhatikan bahwa dari tadi Reiner tidak melepaskan pandangannya kepada salah satu dari Pengurus Inti tadi.

“Jodohku…”

Bisikan Reiner membuat Bertholdt tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Orang yang Reiner maksud tadi adalah gadis pirang bertubuh mungil dan berwajah sangat imut.

“Oh, jadi dia alesan lu mau ikut Himapa? Historia si Bendahara Umum?”

“Anjir kok lu tau dia sih?”

“Siapa manusia di bumi kampus ini yang ga kenal sama dia? Dia kan primadona kampus, Rei.”

“Lu liat, kan? Dia adalah gadis paling imut yang pernah gue liat seumur hidup gue. Fix ini mah calon istri gue.”

“Ah, elah. Ternyata alesannya karena cewek…”

“Historia… Namanya aja cantik…”

Percuma mengajak ngobrol sahabat karibnya sekarang.

Lalu tiba-tiba, gadis mungil itu membalikkan tubuhnya ke belakang, seperti melihat ke arah Reiner dan Bertholdt, dan tersenyum sambil melambaikan tangan.

Bro! BRO! Liat! Dia dadah-dadah ke kita!”

Tidak percaya, Reiner ikut melambaikan tangannya dengan semangat sebelum dia mendengar Historia berseru.

“YMIIIR!”

Tiba-tiba lewatlah seorang gadis bermata sipit tepat di antara Reiner dan Bertholdt dengan sedikit mendorong tubuh mereka ke samping.

“Misi, Bang,” ujar gadis itu sambil tersenyum sinis ke mereka berdua, lalu dia berjalan ke arah Historia. Si gadis mungil berlari ke arahnya lalu memeluknya.

“Anjing, gue jealous,” Reiner menggerutu ke Bertholdt yang masih sedikit terkejut tubuh bongsornya sempat didorong oleh gadis sipit tadi. Kuat juga dia.

Si gadis sipit merubah senyumnya dari sinis menjadi tulus ketika berhadapan langsung dengan Historia.

“Kamu ke mana aja, siiih?”

“Maaf ya, Historia sayang. Gue nyelesein tugasnya Pak Shadis dulu tadi bareng Mina, makanya agak telat ke sini.”

“Yaudah ayo kita masuk dan mulai rapat!”

Reiner sedikit kecewa melihat gadis pujaannya masuk ke ruangan lain dan menghilang dari pandangannya. Sedangkan Bertholdt baru menyadari ternyata gadis sipit itu adalah gadis yang telah menabraknya tadi.

Jadi, nama gadis itu adalah Ymir. Bertholdt menganggap gadis itu walau terlihat galak tapi manis ketika tersenyum.

Seketika Bertholdt merasakan kantuknya benar-benar hilang. Hatinya berbunga-bunga setelah mengirimkan balasan terakhir ke Annie.

Annie, sahabat terdekatnya, sekaligus gadis yang dia sukai. Tidak main-main, dia menyukai Annie bahkan sejak mereka masih sekolah dasar. Tapi sayang, Annie hanya menganggapnya sahabat sama seperti Reiner. Bertholdt yang tidak ingin mengambil resiko persahabatannya rusak karena perasaan pribadi, memutuskan untuk tidak melakukan apapun, apalagi menyatakan yang sebenarnya pada Annie. Perasaannya dia pendam sendiri, dan hanya Reiner lah yang tahu.

Untuk saat ini, bersahabat dengan Annie sampai selama ini sudah cukup membuatnya bahagia.

Chat dengan Annie barusan seperti memberinya tenaga baru untuk hari itu. Sejenak dia terdiam sambil berdiri di lorong, sambil melamunkan si cantik berambut pirang bermata biru.

Sampai-sampai dia tidak sadar ada suara derap kaki yang semakin mendekat dari seseorang yang seperti berlari. Lalu, tiba-tiba…

Bruk!!

Bertholdt merasakan sesuatu yang keras membenturnya dari belakang. Tapi, karena tubuhnya yang besar, benturan tersebut tidak cukup kuat untuk membuatnya ikut terjatuh. Orang yang menabraknya lah yang terpental dan terjatuh dengan bokong mendarat duluan ke lantai.

“Adoh!”

Orang itu adalah seorang gadis, dengan mata sipit dan bintik-bintik tipis pada wajahnya. Khawatir sudah melukainya, Bertholdt segera mengulurkan tangannya kepada gadis itu.

“Maaf! Saya berdiri sembarangan di belokan lorong, maaf banget! Ga apa-apa, kan?”

Si gadis menerima uluran tangan Bertholdt dan berdiri. Dia mengelus-elus bokongnya sendiri yang terasa nyeri akibat terjatuh tadi.

“Iya, ga apa-apa, sih. Gue yang harusnya minta maaf karena udah lari-larian di lorong. Kirain gue nabrak tembok! Gile, gede banget lu, Bang!”

Gadis itu juga minta maaf sambil mengeluarkan komentar jenaka, dan membuat Bertholdt tergelak mendengarnya. Kemudian, gadis itu langsung bersiap kembali berjalan cepat menjauhi si pemuda.

“Maaf ya, Bang!” seru si gadis sipit sambil berlalu meninggalkan Bertholdt.

KRIIING KRIIIIIIING

Bunyi panggilan masuk di ponselnya membangunkan Bertholdt dari tidur singkat yang hanya 2 jam. Ternyata posisi tidurnya adalah telungkup dengan setengah tubuh bagian atasnya di atas kasur dan setengah tubuh bagian bawahnya di lantai. Memang pose tidur Bertholdt selalu ajaib.

Begitu dia intip ke ponselnya dan melihat nama Reiner, dia menggerutu. Karena harus menyelesaikan tugas kuliah, Bertholdt terpaksa begadang dan baru tidur pukul 5 pagi.

“Apa?” jawab Bertholdt ketus dengan suara agak serak setelah dia angkat panggilan tersebut.

“Selamat pagi, my Bro. Inget, kan? Jam 8.”

“Iya, iya.”

“Sori nih udah bangunin lu jam segini. Tapi jangan sampe telat.”

“Iya.”

“Thanks, my Bro.”

Kemudian Reiner menutup panggilannya. Bertholdt yang masih mengantuk kembali tidur, dengan posisi masih setengah di kasur setengah di lantai.

Baru beberapa detik dia memejamkan mata, ponselnya berbunyi kembali. Lagi-lagi panggilan dari Reiner.

“Apa lagi?”

“Nah kan, lu tidur lagi. Mau gue minta ke Floch buat nyamperin ke situ dan gedor pintu kamar lu?”

“Waduh jangan. Iya iya, ini bangun.”

Bertholdt tiba di lokasi janjiannya dengan Reiner, yaitu Gedung Student Center, pada pukul setengah delapan lebih sedikit. Si pemuda kekar berambut pirang itu juga belum kelihatan batang hidungnya. Padahal, tadi dia yang takut Bertholdt datang terlambat.

Dia sendiri sebenarnya bingung juga kenapa rela bangun pagi dan menemani sahabatnya yang satu itu. Reiner, yaitu pemuda bongsor (tapi masih kalah bongsor darinya) berwajah boros yang dari luar terlihat keras dan mengintimidasi layaknya debt collector, tapi ternyata lembut dan romantis. Ibarat idiom yang sempat terkenal di negeri sebelah, yaitu Muka Rambo Hati Rinto. Mereka sudah bersahabat dari sekolah dasar, dan entah kenapa selalu bersama sampai menginjak bangku perkuliahan. Karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa Bertholdt menganggap Reiner adalah orang yang spesial dalam hidupnya. Setiap Reiner meminta bantuan apapun kepadanya, pasti akan selalu berusaha dipenuhinya. Reiner pun juga melakukan hal yang sama kepada Bertholdt.

Kali ini, terdapat permintaan Reiner yang lain dari biasanya. Reiner adalah pemuda yang sangat suka olahraga. Sejak sekolah dasar dia selalu mengikuti klub olahraga di sekolahnya, dan dia selalu mengajak Bertholdt. Walaupun begitu, Reiner tidak suka dengan organisasi kesiswaan lainnya. Dia hanya suka olahraganya saja. Maka dari itu, kali ini Bertholdt heran kepada Reiner. Pasalnya, Reiner memintanya untuk menemaninya ikut menjadi anggota organisasi kemahasiswaan kampus mereka, yaitu Himpunan Mahasiswa Paradis atau disingkat Himapa. Lucu, memang. Bertholdt belum memahami motif dari sahabatnya itu sampai sekarang, tapi dia hanya pasrah saja dan menuruti permintaan sahabatnya.

Sambil menguap, pemuda bongsor setinggi 192 cm itu bangkit dari kursi lobi depan menuju ke toilet. Rencananya dia mau cuci muka dulu karena sebetulnya dia masih sangat mengantuk. Lalu ketika dia menguap untuk yang kedua kalinya, muncul notifikasi chat pada ponselnya. Dia pikir itu dari Reiner, tapi ternyata bukan.

Melainkan dari Annie, sahabat terdekatnya satu lagi.

Akhirnya

Udo selesai membaca buku tersebut dengan air mata membanjiri pipinya. Hal yang sama terjadi pada Hange.

“M-Maafin Udo… Ternyata kayak gitu ceritanya… Maafin Udo udah nyangka kalo Kakak ga sayang sama Udo…”

Hange tidak lagi dapat menahan dirinya lagi. Ia pun bangkit dari duduknya dan berlutut untuk memeluk adiknya- bukan, anaknya dengan sangat erat.

“Kakak sayaaaaang banget sama Udo… Kakak takut kehilangan Udo… Kakak ga bisa, ga bisa banget…”

“Maafin aku ya, Kak, udah bikin khawatir…” Udo membalas pelukan Hange sambil ikut berurai air mata.

Setelah beberapa lama, akhirnya Hange melepaskan Udo dan tersenyum sambil mengacak-acak rambut anak itu.

“Hehe, jangan diulangin, yaa! Kakak hampir jantungan tau nyariin kamu.”

“Iya, Kak. Janji kok, hehe.”

Hange kembali duduk bersila di samping Udo, sambil memandangi batu nisan Levi di depan mereka.

“Maafin Kakak ya, Do. Selama ini udah merahasiakan hal itu dari Udo. Seperti yang udah Udo baca, keadaannya seperti itu. Setelah Bapak dan Ibu meninggal pun Kakak ga sanggup untuk bilang ke siapa-siapa, termasuk kamu. Tau-tau 10 tahun berlalu. Ternyata sudah selama itu Kakak simpan rahasianya, ya.”

“Aku ngerti kok kalo ini berat untuk Kakak. Dan aku ga permasalahin itu sama sekali. Soalnya, selama ini pun Kakak udah aku anggap sebagai sosok ibu. Aku bahagia tinggal sama Kakak. Yang bikin sedih itu kalo keberadaan Udo ternyata cuma jadi beban untuk Kakak.”

“Dulu Kakak ga paham, Do. Namanya juga masih jadi remaja galau, masih egois. Tapi kan kemudian Kakak sadar kalo ternyata Udo itu sangat berharga bagi Kakak. Kakak ga bisa kehilangan kamu. Hitungannya berarti udah 3 kali lho Kakak hampir kehilangan kamu kalo kejadian ini dihitung juga.”

Udo mengambil tangan kanan Hange, memasangkan gelang biru satunya lagi sehingga sekarang mereka sama-sama mengenakannya, lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya.

“Mulai sekarang, Udo janji ga akan ngulangin kejadian seperti ini lagi, dan ga akan pernah ninggalin Kakak.”

Hange merasakan semua jenis beban perasaan yang ia punya sejak hadirnya Udo di dunia, hilang lenyap sudah. Tidak ada lagi rahasia di antara mereka berdua. Semuanya sudah terbuka lebar. Hange memandangi wajah anaknya dengan tatapan penuh cinta dan kebahagiaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Udo.

“Sekarang Udo ngerti kenapa Udo ga boleh punya motor dulu sama Kakak,” ujar Udo setelah beberapa lama mereka duduk berdampingan di sana. “Takut kayak dia, ya?”

Tentu saja, ‘dia’ yang dimaksud adalah sang pemilik batu nisan yang ada di hadapan mereka.

“Yup, betul banget. Amit-amit deh kalo kejadian itu menimpa kamu juga, Do. Lagian, kamu belum cukup umur untuk buat SIM. Tunggulah 3 tahun lagi, baru kakak pertimbangkan lagi nanti.”

“Dia orangnya kayak gimana, Kak?”

“Hm… Dia mah jutek banget orangnya. Susah senyum.”

“Tapi di foto itu dia senyum.”

Foto yang dimaksud Udo sudah ia letakkan di batu nisan milik Levi, sehingga mereka berdua seperti sedang berpandangan dengan Levi.

“Iyaa, itu jarang banget momennya. Kebetulan waktu kakak mau foto dia diam-diam, eh ketahuan dan dia malah senyum. Makanya foto ini berarti banget buat Kakak.”

“Kakak bucin yah sama dia.”

“Hehe, iya. Kakak kalo udah sayang mah bucin banget. Sama halnya kayak Kakak ke kamu.”

“Aku ada miripnya ga sama dia?”

“Wah, Do. Kamu itu bener-bener campuran dari Kakak dan dia. Bentuk hidung, mata minus, tinggi badan, sifat kepo kamu itu dari Kakak. Tapi warna rambut, warna mata, sifat perhatian dan hobi bersih-bersih kamu datangnya dari dia.”

“Pantesan. Aku heran kok Kakak itu jorok banget orangnya, tapi akunya malah resik. Ternyata asalnya dari Ayah, toh.”

“Hehehehe, lucu ya kamu manggil Levi ‘Ayah’.”

“Kan emang bener dia ayah aku.”

“Bener siih, tapi tetep aja dengernya asing.”

“Kalo Kakak aku panggil 'Bunda', asing juga ga?”

Hange tertegun sejenak mendengar pertanyaan dari Udo barusan.

“...’Bunda’?”

Hange tidak pernah bermimpi agar Udo memangilnya dengan sebutan itu. Lebih tepatnya, tidak berani bermimpi. Walaupun ia sangat mendambakan hal itu.

“Boleh ga aku panggil Bunda?”

Apakah ia pantas mendapatkan panggilan itu?

Ya, tentu saja.

Hange kembali menahan air matanya agar tidak menetes lagi, meski itu hal yang sulit sekali. Ia mengangguk dengan sangat semangat sambil tersenyum lebar.

“Boleh banget, dooonk!”

Bertemu Kembali

Tidak banyak yang berubah sejak Hange terakhir datang ke tempat itu tahunan yang lalu. Letak pemakaman yang lebih tinggi dari area sekitarnya serta banyaknya pepohonan menjadikannya tempat yang sejuk dan asri.

Ketika sampai di makam Levi yang tidak jauh dari pintu masuk, akhirnya, Hange melihat sosok yang sejak kemarin dia cari. Remaja itu duduk tepat di depan batu nisan milik Levi, sambil menekuk dan memeluk lututnya. Dengan berjalan santai, Hange menghampirinya dan kemudian duduk bersila di sampingnya.

“Udo tau pasti Kakak bakal nyamperin Udo sampai ke sini,” ucap Udo tanpa menoleh sedikitpun.

“Haha. Susah juga lho nyariin kamu. Kakak sampe naik pesawat nyebrang pulau dan naik bus antar kota berjam-jam, nih.”

Kemudian mereka terdiam sejenak. Hange memerhatikan bahwa pada pergelangan tangan kanan Udo terdapat gelang biru dari rumah sakit ketika ia melahirkan anak itu.

“Kenapa kamu pergi, Do? Kenapa ga tunggu Kakak pulang biar Kakak bisa jelasin semuanya? Kakak khawatir banget.”

“Aku shock. Ga nyangka. Makanya aku ga bisa berpikir jernih. Yang ada di pikiranku cuma pergi menjauh. Soalnya… Udo merasa jadi beban hidup Kakak.”

“Maksud kamu gimana, Do?” tanya Hange keheranan. “Kok kayak gitu ngomongnya?”

“Ya sesuai sama yang Kakak tulis di buku Kakak.”

Hange berpikir sejenak. Kemudian ia teringat tentang apa yang pernah ia tulis di buku hariannya tersebut.

“Udo, kamu baca buku itu sampai habis, ga?”

“Ga. Ga sanggup Udo bacanya.”

“Kamu baca sampai bagian mana? Sampai bagian Kakak ngeluh tentang kamu ya? Coba kamu baca sampai habis dulu, deh.”

Menuruti perkataan Hange, Udo mengambil tas di sampingnya dan mengeluarkan buku harian Hange. Kemudian, ia mulai baca kembali.