omgitsuru

tw // claustrophobia , child abuse , domestic violence

Ymir sudah diantar pulang ke kosan oleh Bertholdt dengan selamat. Tadi, beberapa menit setelah Ymir tenang, dia meminta untuk segera pulang dan langsung dituruti oleh Bertholdt. Sepanjang perjalanan, mereka tidak saling berbicara. Sambil mengenakan jaket milik Bertholdt yang terlalu besar untuknya, Ymir memeluk erat lengan pacarnya, seperti takut bahwa pemuda itu akan meninggalkannya. Setelah sampai kosan, mereka disambut oleh Historia yang tidak kalah khawatir menunggu mereka kembali. Bertholdt sebelumnya sudah memberi Hisu pesan singkat tentang kejadian dengan Ymir tadi.

Historia membawa Ymir masuk ke dalam kamar, lalu membantunya mengganti pakaian, dan menemani Ymir sampai dia tertidur tidak lama setelah itu. Setelah memastikan bahwa Ymir sudah tidur, Historia keluar kamar untuk menemui Bertholdt yang masih menunggu di teras depan kosan.

“Makasih ya, Berry.” Itu adalah nama panggilan dari Historia karena baginya nama Bertholdt terlalu sulit diucapkan. “Makasih udah jemput Ymir. Aku ga nyangka setelah sekian lama akhirnya dia ngalamin ini lagi.”

“Ngalamin apa ya, Hisu? Ymir itu kenapa? Tadi ga tega nanyain dan minta dia cerita.”

“Sebenernya… Ymir takut sama ruangan sempit dan tertutup. Sekarang-sekarang ini padahal udah mendingan banget, udah mau naik lift yang tadinya dia ga mau sama sekali.”

Bertholdt jadi teringat, bahwa setiap dia bersama Ymir dan hendak berpindah lantai di gedung manapun, Ymir lebih suka menggunakan tangga dibandingkan lift bila lantainya tidak terlalu tinggi dan masih bisa dijangkau tangga. Bertholdt pikir hal itu dikarenakan Ymir memang aktif dan suka bergerak. Bila harus naik lift, Ymir selalu berdiri sangat dekat dengannya atau hanya sibuk memperhatikan layar ponselnya sampai mereka tiba di lantai yang dituju.

Selama ini pacarnya terlihat kuat, berani, seperti tidak ada takutnya sama sekali. Tentu saja Bertholdt tidak menyangka bahwa Ymir memiliki claustrophobia.

“Aku baru tau… Selama ini sama sekali ga keliatan…”

“Terakhir kejadian itu waktu kami SMA, yaitu waktu main di mall. Lift-nya macet, jadi kami dan beberapa pengunjung terjebak di dalamnya. Ga lama sih, bantuan cepet datang, tapi kayak gitu aja Ymir udah sesak napas. Apalagi kejadian tadi ya, yang kamu bilang setengah jam dia kekunci dalam gudang.”

“Hisu tau ga sejak kapan dan kenapa dia punya claustrophobia?”

“Ymir ga pernah cerita apapun tentang dirinya dan keluarganya ke kamu?”

“Ga pernah…”

“Kayaknya dia ga mau kamu khawatir, Berry. Makanya dia ga cerita. Atau mungkin belum. Tapi yaudah deh aku kasih tau aja ya sekarang.”

“Aku… tadi bener-bener kaget. Dia gemeteran, keliatan pucat banget, rapuh banget. Beda dari Ymir yang biasanya…”

“Jadi, dulu waktu dia kecil dia tinggal sama kedua orang tuanya. Mereka keluarga kurang mampu, ibunya buruh cuci dan ayahnya pengangguran. Ayahnya ini pemabuk, suka mukul Ymir dan ibunya. Ymir dipaksa ngamen dan ngemis di jalanan, yang kalo pulang ga bawa uang dia akan dipukuli ayahnya. Suatu ketika, waktu Ymir umur 7 tahun, dia dihukum ayahnya karena pulang ga bawa uang. Ditampar, ditendangi, dan dikurung dalam lemari. Ibunya liat itu dan berantem sama ayahnya. Malam itu puncak dari kekerasan ayahnya, karena Ymir dengar suara pukulan keras berkali-kali sampai suara jeritan ibunya ga kedengeran lagi. Ymir coba panggil ibunya dari dalam lemari, seperti biasanya kalau ayahnya pergi maka ibunya akan mengeluarkan Ymir dari kurungan dalam lemari. Tapi kali itu ibunya ga jawab. Ymir ketakutan, dia coba teriak-teriak sampai suaranya habis tapi ga ada yang jawab dia. Saat itu Ymir lagi sakit juga, jadi itu memperburuk keadaan tubuh dia. Pingsan, tersadar, pingsan, tersadar, sampai dia ga tau udah berapa hari dia dalam lemari itu. Akhirnya ada yang buka lemari itu, yaitu polisi. Ternyata Ymir udah 3 hari dalam lemari dalam kondisi demam, dehidrasi, dan kelaparan. Dia dilarikan ke rumah sakit dan dirawat hampir sebulan. Ibunya Ymir… udah meninggal pada malam kejadian itu karena pukulan bertubi-tubi ayahnya.”

Historia menghapus air matanya menggunakan lengan baju piyamanya. Sedangkan Bertholdt hanya tercengang, tidak menyangka.

“Kejadian itu… sepertinya yang membuat Ymir jadi takut sama ruangan tertutup dan sempit… Selepas dari rumah sakit, karena Ymir ga punya keluarga lagi dia dimasukin ke panti asuhan. Gara-gara didikan ayahnya dulu, Ymir jadi anak yang kasar ke teman-temannya. Suka bully, suka merebut barang-barang milik temannya, suka ngelawan yang lebih tua. Ymir sering bermasalah sama orang-orang di sekitarnya. Dia ga punya teman, dan itu berlangsung terus sampai dia SMA. Oh iya, walau dia bandel, tapi dia pintar dan dapat beasiswa di SMA yang sama denganku. Jadi inget sama pertemuanku pertama kali sama Ymir dulu. Waktu itu dia nyelamatin aku dari preman-preman yang coba godain aku sepulang sekolah. Tapi waktu itu dia langsung pergi, ga mau dekat sama aku. Sampai suatu ketika aku dengar ada suara orang minta tolong dari dalam ruang penyimpanan alat-alat olahraga di sekolah, di mana aku kebetulan lewat. Ternyata itu Ymir, yang diisengin sama tukang bully sok jagoan di sekolah karena mereka ga suka sama Ymir yang ga ada takut-takutnya sama mereka. Aku dorong penghalang pintunya supaya bisa dibuka lagi pintunya. Dari dalam keluar Ymir yang tiba-tiba meluk aku karena dia udah ketakutan. Sejak saat itu, kami jadi deket. Kami sahabatan terus sampe sekarang. Tadinya dia ga mau temenan sama yang lain selain aku, tapi perlahan dia mulai buka hatinya, dan mulai bisa bercanda sama temen-temen yang lain. Nah, Ymir ini semakin ada perubahan positif sejak pacaran sama kamu, lho, Berry.”

“Yang bener?” Tiba-tiba saja Historia mengaitkan cerita Ymir ke diri Bertholdt.

“Iya. Kamu itu pacar pertamanya. Aku ngerasa dia ga sekeras dulu. Sekarang jadi lebih ceria, lebih banyak senyumnya, apalagi kalo lagi chat-chat-an sama kamu.”

Pernyataan Historia tidak disangkanya, tapi hal itu membuatnya lega dan bahagia.

“Berry, aku mau ngucapin makasih banget karena udah bikin Ymir, sahabatku yang paling aku sayang, jadi lebih bahagia. Seengganya perlahan dia bisa ngelupain masa lalunya yang kelam. Terima kasih, karena udah sayang sama Ymir.”

Melihat Historia yang air matanya terus menetes juga akhirnya membuat Bertholdt melakukan hal yang sama, padahal sudah dia tahan-tahan dari tadi sejak Historia mulai menceritakan masa lalu Ymir.

“Janji ya, Berry. Jangan pernah tinggalin Ymir. Sayangin dia terus. Obatin luka-luka hati dia, sampai suatu saat nanti dia lupa sama masa lalunya, dan ingatannya digantikan dengan kenangan indah sama kamu.”

Tidak biasanya Bertholdt dihubungi oleh Historia pada malam selarut itu. Ketika panggilannya diangkat, ternyata dia menanyakan keberadaan Ymir. Pacarnya belum pulang ke kosan, membuat Historia khawatir. Ponselnya sudah berkali-kali dihubungi tapi tidak ada yang menjawab walaupun tersambung. Historia pikir bahwa Ymir sedang bersama Bertholdt, tapi nyatanya tidak.

Bertholdt langsung merasa sangat khawatir. Bila sampai seorang Historia tidak bisa menghubungi Ymir, tandanya memang benar-benar sedang terjadi sesuatu padanya.

Beberapa teman sudah dihubungi Bertholdt, sampai akhirnya giliran Annie yang dihubungi. Informasi yang didapat dari Annie adalah bahwa sepertinya Ymir ada di markas Himapa bersama Hitch, karena beberapa hari sebelumnya Hitch sempat cerita dia dibantu oleh Ymir untuk urusan bironya.

Tanpa berlama-lama Bertholdt langsung menghubungi Hitch.

“Hi, Beruto,” sapa Hitch ketika menerima panggilan dari Bertholdt. “Tumben.”

“Hitch, lagi sama Ymir ga? Hapenya gue hubungin ga diangkat.”

“Ini hapenya lagi di-charge. Walah, mode silent nih, makanya ga bunyi.”

“Pantesan… Sekarang dia lagi di situ?”

“Naah. Tadi sih iya. Tapi sekarang, karena suatu dan lain hal, dia lagi kekunci di dalem gudang Himapa, nih.”

“Kekunci?? Di gudang yang pintunya rusak itu??”

“Iyaa, gue sama Floch udah dari tadi cari-cari kuncinya tapi belum ketemu. Lo tau ga di mana? Atau bisa bantu ke sini mungkin?”

“Oke gue ke sana sekarang.”

“Sip— eh, bentar. Floch, lo denger ga? Itu, suara gedor-gedor. Jangan-jangan itu Ymir? Eh iya asalnya kayak dari gudang!”

“Kenapa, Hitch??”

“Ada suara gedor-gedor dari gudang. Anjir itu Ymir kenapa. Beruto lo cepet dah ke sini.”

Bertholdt segera mengambil jaketnya lalu berlari menuju Gedung Student Center yang memang jaraknya tidak sampai lima menit dari kosannya. Setelah sampai di markas Himapa, dia bergegas menuju ke lokasi gudang yang dimaksud. Sudah ada Hitch dan Floch yang berdiri di depan sana.

“Akhirnya lo sampe! Ini Ymir tiba-tiba ga ada suaranya! Aduh gue takut dia pingsan di dalem!” Wajah Hitch terlihat sangat khawatir.

“Ymir!” panggil si pemuda bongsor sambil mencoba memutar knop dan mendorongnya dengan harapan bisa membuka pintu tersebut. Tapi usahanya gagal. Pintu itu memang benar-benar terkunci. Tidak ada jawaban dari Ymir.

“Udah berapa lama dia kekunci?”

“Sekitar setengah jam-an,” jawab Hitch ke Bertholdt.

Kemudian Bertholdt mendekatkan telinganya ke pintu. Dia bisa mendengar samar suara isakan dari dalam.

“Ymir! Kamu ga apa-apa?! Tunggu aku bukain pintunya, ya!”

“Tapi kuncinya ga ketemu udah dari tadi gue sama Hitch cari—” belum selesai Floch bicara, Bertholdt sudah terlihat siap menendang knop pintu gudang tadi dari luar.

Tidak perlu waktu yang lama bagi Bertholdt untuk benar-benar merusak knop pintu itu. Dengan dua kali tendangan, knop itu terjatuh sangat keras ke lantai, menyisakan lubang pada pintu gudang.

Ketika akhirnya pintu gudang bisa dibuka, Bertholdt menemukan pacarnya duduk meringkuk di sudut gudang.

“Ymir!”

Bertholdt menghampiri sambil berjongkok, memeriksa kondisi si gadis. Tangannya meraih bahu Ymir karena posisi si gadis masih meringkuk memeluk kakinya. Dia seperti belum tersadar bahwa pintu sudah terbuka sebelum merasakan tangan besar Bertholdt mencengkramnya. Tubuhnya masih gemetaran, dan terasa dingin walaupun gudang itu aslinya pengap.

Ketika Ymir mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah pucat pasi dan mata sembab karena air mata, Bertholdt merasa hatinya ikut pilu. Sejak pertama kali mereka saling kenal, baru kali ini dia melihat Ymir setakut sekarang.

Napas si gadis masih tersengal-sengal, tapi tidak lama setelah dia sadar bahwa pintu gudang telah terbuka dan ada Bertholdt di hadapannya, dengan segera dia bangkit mengalungkan tangannya ke leher Bertholdt dan memeluknya erat sampai pemuda itu jatuh terduduk.

Bertholdt membiarkan Ymir terisak sambil menenangkan si gadis dengan mengusap-usap lembut punggungnya. Bertholdt tidak mengerti apa yang terjadi pada Ymir, tapi dia tahu bahwa percuma mengharapkan Ymir bercerita dengan kondisi seperti ini. Karenanya, dengan tulus Bertholdt meminjamkan dekapannya sampai si gadis benar-benar tenang.

tw // claustrophobia , child abuse , domestic violence , harshwords

Beberapa hari terakhir memang Ymir sengaja menghindar dari Bertholdt. Sejak dia mendengar sedikit percakapan Bertholdt dengan Annie waktu itu, dia merasa harus rehat sejenak dari pacarnya supaya tidak semakin terbawa perasaan, atau baper. Padahal, sebetulnya dia sudah kangen sekali dengan Bertholdt.

Pada malam itu, usai dari mengerjakan tugas kelompok, lagi-lagi dia dimintai bantuan oleh Hitch perihal urusan bironya. Karena sudah larut malam, kali ini hanya ada Ymir, Hitch, dan Floch saja di dalam markas Himapa.

Hitch meminta Ymir untuk mengambil suatu barang di dalam gudang.

“Oke. Kuncinya mana?”

“Ga ada. Gudang itu emang ga pernah ditutup rapat pintunya karena rusak.”

Gudang Himapa adalah ruangan sempit yang penuh dengan barang-barang. Tidak ada jendela dan lubang udara, selain dari pintu gudang itu sendiri. Lokasinya sedikit jauh di belakang dibandingkan ruang-ruang Himapa lain.

Setelah tiba di depan gudang, Ymir membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu dan menyalakan lampu. Ternyata lampunya juga rusak karena tidak mau menyala. Karena dia malas kembali untuk mengambil ponselnya di dalam tas di ruang biro sebagai sumber penerangan, dan karena sudah tahu mau mengambil apa di sana, Ymir tetap masuk ke dalam gudang. Tapi kemudian, karena gelap, tidak sengaja kakinya tersandung kardus dan menyenggol pintu masuk hingga tertutup rapat.

Gudang yang tadinya masih terkena cahaya dari luar, menjadi nyaris gelap gulita dan hanya menyisakan sedikit garis cahaya yang tidak berarti dari celah bawah pintu. Ymir memutar knop pintu dari dalam, namun ternyata terkunci. Dia terjebak di dalam gudang tersebut.

“Aduh sial gue kekunci.”

Ymir masih terus mencoba untuk memutar knop dan menarik pintu, tapi sia-sia. Pintunya tetap tidak mau terbuka.

Kemudian dia menggedor pintu gudang dari dalam sambil berteriak. Harapannya, Hitch atau Floch mendengar teriakannya karena memang pada malam itu di markas Himapa tidak ada seorang pun selain mereka bertiga.

Keringat dingin mulai keluar dari dahi dan pelipisnya. Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih menyesakkan dari satu menit sebelumnya.

“Dasar ga guna!”

“Haloo?! Tolongin dong gue kekunci di gudang! Halooo? Hitch? Floch?”

“Elu cuma jadi beban gue tau ga, hah?! Udah dekil, jelek, tolol!!”

“WOOOYYY TOLONGIN DONG!!”

“Ymir??”

Akhirnya ada yang menjawabnya dari luar. Suara Hitch.

“Pantesan lo lama banget! Anjir lah kenapa sampe kekunci siih kan udah gue bilangin jangan ditutup pintunya!”

“Kesenggol kardus, ga sengaja,” jawab Ymir dengan suara sedikit parau karena berteriak tadi.

Hitch juga mencoba untuk membuka pintu gudang, tapi gagal.

“Kuncinya ga tau ada di mana nih, soalnya emang ga pernah ditutup pintu gudang ini. Gue panggil Floch dulu deh buat bantuin cari kunci. Tunggu, ya.”

Suara langkah kaki Hitch terdengar semakin kecil, menjauhi gudang. Ymir jadi sendirian.

Gelap. Sesak.

“GUE KURUNG LAGI LU DI SINI!”

Kakinya melangkah mundur sampai punggungnya menabrak lemari yang berdebu. Ymir menurunkan tubuhnya untuk duduk di lantai gudang sambil bersandar pada lemari tersebut.

“Bapak, maafin Ymir… Ymir t-tadi kecapekan m-makanya ga lanjut ngamen…”

“Halah! Alesan! Emang lu aje yg males! Ngapain lu lahir kalo ga bisa kasih gue duit, hah?!”

Plak! Bunyi tamparan itu begitu keras. Akibatnya, si anak yang baru berusia sekitar 7 tahun itu jatuh tersungkur ke lantai. Tidak cukup sampai situ, ditendangnya berkali-kali tubuh mungil si anak yang meringkuk, lalu ditariknya lengan si anak dan dilemparnya ke dalam lemari. Lelaki paruh baya itu kemudian menguncinya dari luar.

Ymir mulai merasa kesulitan bernapas. Jantungnya berdegup kencang, pandangannya semakin kabur. Keringat mengucur deras.

“Diem lu di situ!”

Sambil terisak, si anak duduk memeluk lututnya. Seluruh tubuh si anak terasa nyeri akibat tamparan dan tendangan dari lelaki yang dia panggil ‘bapak’ tadi.

“M-maafin Ymir, Bapak…” ucap Ymir, gemetar sambil memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya. Debu dalam gudang membuatnya semakin kesulitan bernapas.

”Lu tega ya sama anak lu sendiri!” Kali ini terdengar suara wanita yang berteriak ke lelaki tadi. “Lu yang ga guna, anjing! Yang cari duit itu harusnya lu! Bukan anak lu!”

”Eh diem lu. Lu juga ga guna. Lonte bangsat.”

”Lu sampah! Kerja lu cuma mabok-mabokan, judi, ga jelas tapi lu masih berani maksa anak lu ngamen di jalan! Setan!”

Buk! Terdengar bunyi pukulan keras dengan benda tumpul mengenai tubuh manusia.

“Ulangin lagi yang barusan. Ulangin lagi kalo masih mau gue hajar!”

“GUE GA TAKUT! PUKUL LAGI! ANJING!”

Terdengar lagi bunyi pukulan, tidak terhitung berapa kali. Si anak menangis semakin menjadi-jadi membayangkan ibunya yang sedang dipukuli oleh ayahnya. Suara pukulan itu akhirnya berhenti ketika tidak ada lagi suara teriakan dari wanita tadi.

“...Mamak?” panggil Ymir lirih. Kepalanya kembali mendongak ke arah pintu gudang.

Suara langkah kaki lelaki tadi terdengar tergesa-gesa keluar dari kamar, meninggalkan si anak yang masih terkunci dalam lemari. Dan… istrinya yang tergeletak di lantai.

“Mamak? Mamak ga apa-apa? Mak, Bapak udah pergi? Bukain lemarinya, Mak. Badan Ymir sakit ditendangin Bapak tadi.”

Tidak ada jawaban dari ibu anak itu.

“Mamak? Mamak! Jangan tinggalin Ymir, Mak! Ymir takut sendirian!”

Ymir sudah berada di depan pintu dan memukulnya berkali-kali dengan harapan pintu gudang itu akan terbuka. Air mata mengalir deras membasahi wajahnya. Dia berteriak-teriak hingga suaranya serak.

“MAMAAAAAK!!”

Ymir mengungkapkan hal barusan kepada Connie dan Sasha bukanlah tanpa alasan.

Jadi sebetulnya, sebagian dari hal yang dia ungkapkan adalah hasil dari kesimpulannya sendiri. Memang betul jika Bertholdt adalah pemuda yang baik, pintar, setia, royal, pemaaf, dan lain sebagainya yang baik-baik. Apalagi secara fisik, di mana dia memiliki tubuh tinggi besar, dada bidang, proporsional, dengan wajah tampan dan sorot mata sendu nan lembut. Sempurna, pikir Ymir.

Tapi, di bagian “saling memanfaatkan”, itu tadinya adalah niat awal Ymir. Ajakannya ke Bertholdt dulu untuk berpacaran sebetulnya hanya untuk iseng belaka. Dia hanya menganggap kalau dia dekat dengan pemuda itu, dia akan lebih mudah untuk membuntuti Historia karena gadis kesayangannya itu bersama dengan Reiner, sahabat dari Bertholdt. Ekspektasi Ymir adalah Bertholdt pemuda yang juga kesepian dan kehilangan sahabat terdekatnya. Ymir pikir dia bisa relate dengan Bertholdt. Sekali lagi, ajakan pacaran itu murni hanyalah iseng.

Seiring berjalannya waktu, Ymir menyadari bahwa Bertholdt tidak sepenuhnya seperti yang dia bayangkan. Tadinya dia pikir hubungannya dengan pemuda itu hanya akan seperti dua sahabat yang sama-sama kesepian. Tapi, Bertholdt malah memperlakukannya dengan manis. Seperti selayaknya seorang pacar yang sangat menyayanginya. Berkali-kali Ymir dibuat mleyot dengan perlakuan Bertholdt, dan mulai mempertanyakan niat awalnya mengajak pemuda itu pacaran. Bahkan, Ymir sempat berpikir bahwa Bertholdt benar-benar menyayanginya dan sudah move on.

Kalau sudah begitu, kenapa sekarang Ymir bisa sangat yakin bahwa Bertholdt masih belum bisa melupakan Annie?

Beberapa waktu lalu secara tidak sengaja Ymir mendengar percakapan antara Bertholdt dan Annie di ruang biro.

Perlu diingat bahwa Ymir, Bertholdt, dan Annie berada dalam biro yang sama. Tugas mereka kurang lebih juga sama dengan anggota lain dalam satu biro tersebut, hanya saja Ymir dan Bertholdt dari awal memang dipasangkan seperti halnya Frank dengan Hannah dan Annie dengan Marlowe. Ketika pasangan-pasangan ini selesai dengan tugas masing-masing, hasilnya dikumpulkan dan didiskusikan bersama dalam ruangan mereka. Interaksi antar anggota sudah biasa dan sudah terjalin akrab. Termasuk interaksi antara Bertholdt dengan Annie. Ymir suka memperhatikan interaksi mereka meski dalam diam.

Sebelum berpacaran dengan Ymir, Bertholdt terlihat jelas sekali menyukai Annie. Matanya tidak bisa bohong. Mungkin teman-teman lain sesama anggota lain juga menyadari hal itu, tapi memilih untuk tidak berkomentar.

Lalu, setelah mulai berpacaran dengannya, perlahan kebiasaan Bertholdt untuk memperhatikan Annie sedikit berkurang. Walau sesekali masih mencuri pandang, tapi kemudian perhatian Bertholdt berubah arah pada dirinya, dan lebih banyak untuknya.

Ymir pun hampir melupakan perasaan Bertholdt kepada Annie. Hampir.

Sampai suatu ketika, di saat Ymir membantu biro sebelah membereskan ruangan baru mereka karena dimintai tolong oleh Hitch. Ruangan tersebut bersebelahan dengan ruangan biro Ymir.

“Thanks banget ya, Ymir. Untung lo mau bantuin kami. Lagi kurang orang nih, terus Floch ga bisa bantuin juga karena tu anak masih sakit.”

“Yoi. Tapi tumben lu ga lagi sama Annie.”

“Noh, dia lagi di sebelah. Ngerapihin laporan, katanya.”

“Oh, ya? Perasaan udah beres kemarin. Laporan apa lagi ya?” Ymir bertanya-tanya, karena Annie kan berada di biro yang sama dengannya, jadi mestinya dia juga tahu bila ada laporan yang belum selesai.

Karena penasaran, usai membantu Hitch dia berjalan menuju ruangan bironya untuk menyapa si gadis pirang. Namun ketika sudah dekat dengan pintu bironya yang sedikit terbuka, dari celah kecil pintu tersebut dia melihat sosok yang tidak asing.

“Bert?”

Pacar bongsornya terlihat tengah duduk membelakangi pintu. Lalu di sampingnya, ada Annie yang posisinya sama seperti Bertholdt.

“Bukannya kata Bert di jam segini dia mau main futsal sama timnya Reiner?”

Ymir tidak paham kenapa bukannya masuk ke ruangan itu, tapi dia malah bersembunyi di samping pintu bagian luar untuk mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Kepalanya sedikit mengintip ke dalam ruangan.

“Gimana maksud lo?”

“Ann jangan bikin gue ulang lagi dong perkataan tadi.”

“Karena gue masih ga percaya.”

“Ini beneran. Gue… naksir lo, Ann. Dari kita SD dulu.” Bertholdt terlihat mengusap-usap tengkuknya. “Aduh, akhirnya kesebut juga.”

“...lo kan udah punya Ymir. Dan lo tau juga kalo gue udah sama Armin.”

“Iya… Tapi gue—”

Kaki Ymir seperti secara otomatis melangkah pergi, menjauhi ruangan itu. Dia tidak mau mendengar lanjutan percakapan tadi. Entah kenapa… dia takut.

Dia tidak mau mendengar dari mulut Bertholdt langsung tentang hal yang sebenarnya.

Lalu dia tersadar bahwa perkiraannya salah besar. Tentu saja, Bertholdt masih menyukai Annie. Ymir hampir terlena dan nyaman.

Dia tidak boleh kebaperan dengan Bertholdt. Walaupun di hari-hari berikutnya pemuda itu kembali memperlakukannya dengan sangat manis, Ymir tidak boleh luluh. Karena dia paham bahwa itu semua hanya sandiwara. Hanya coping mechanism dari Bertholdt yang tidak bisa mendapatkan Annie.

“Inget, Ymir. Lu dan Bert itu cuma saling memanfaatkan. Jangan baper, elah.” Ymir membuat pengingat untuk dirinya sendiri.

Biasanya, Reiner makan siang di kantin kampus dengan Historia, atau dengan Bertholdt, atau berempat sekalian dengan Historia, Bertholdt, dan Ymir seperti layaknya double date. Namun saat itu dia terpaksa makan sendirian. Pacarnya sedang ada kegiatan khusus Pengurus Inti Himapa. Sedangkan sahabatnya sibuk mengerjakan tugas kelompok bersama yang lain di perpustakaan.

Sambil membawa makanan, Reiner memilih tempat duduk yang sedikit di pojokan. Ketika baru awal mulai makan, dia mendengar suara-suara yang familiar di dekatnya. Ternyata suara itu adalah milik Connie, Sasha, dan Ymir. Karena dia juga akrab dengan mereka, Reiner sudah hampir mengangkat piringnya untuk pindah duduk ke tempat mereka.

Tapi kemudian, dia mengurungkan niatnya. Sepertinya, mereka bertiga sedang membicarakan sesuatu, dan kehadirannya hanya akan menginterupsi saja. Diam-diam, Reiner tetap penasaran dengan apa yang sedang dibicarakan. Posisinya terhalang oleh pilar kantin yang besar, jadi kemungkinannya mereka tidak sadar bahwa ada dia di situ.

“Lu kenapa dah bisa suka sama Bertot?” Terdengar suara Connie yang sambil mengunyah makanannya.

“Siapa bilang?” jawab suara Ymir.

“Lah itu pacaran. Gua kirain lu ga demen cowok, heheheh.”

“Siapa bilang gue suka?”

Reiner mengernyitkan alisnya.

“Terus kenapa pacaran sama Bertot, Yum?” tanya suara Sasha.

“Sejak gue tahu Historia bakal pacaran sama si Bagong, gue udah harus siap-siap jadi punya waktu sendirian. Kan garing banget, ya. Gue butuh temen, yang selalu ada kapanpun. Kebetulan ada nih si Bert yang lagi lowong. Dia royal, ga pelit, tiap jajan gue selalu dibayarin. Selalu hadir nemenin gue. Orangnya ga pemarah, jadi kalo tiap gue ada salah langsung beres cuma dengan minta maaf. Enak, dah.”

“Lu… manfaatin dia, dong?” tanya Sasha lagi.

“Ya iya, lah! Udah jelas! Jiwa raga gue selamanya untuk Historia. Ini gue pacaran buat pengalihan aja karena Historia gue udah direnggut sama si Bagong Gorila. Aslinya mah, hadeh, Historia nomor satu.”

Reiner sudah tidak tahan lagi mendengar percakapan ketiga orang itu. Apalagi, Reiner paham betul perasaan Bertholdt yang sebenarnya. Perlahan dia bangkit supaya ketiganya tidak menyadari ada dia yang dari tadi mendengarkan, lalu pindah ke tempat lain.

Padahal, percakapan mereka masih berlanjut.

“Tega banget, lu. Lu ga liat dia sekarang kebucinan sama lu? Kesian, tau.”

“Ck ck, lu salah, Con. Dia itu hatinya juga cuma buat Annie. Dia nerima jadi pacar gue waktu itu karena udah no hope sama Annie.”

“Masa, sih?”

“Iyee.”

“Kalo ternyata dia udah move on ke lu gimana, Yum?”

“Kaga bakal. Udeh, tenang aje. Gue sama Bert aman, lah. Saling memanfaatkan. Kondisi kayak gini udah paling pas dan paling nyaman.”

“Gue mau bilang makasih nih, Rei,” kata Bertholdt tiba-tiba kepada sahabatnya suatu hari, ketika mereka dalam perjalanan pulang ke kosan.

“Atas?”

“Atas permintaan lu dulu untuk ngajak Ymir nge-date. Ternyata, abis itu kami pacaran. Gue bersyukur, sih. Ternyata gue bisa sayang sama dia.”

“Wah, jadi lu udah bener-bener move on nih dari Annie?”

“Di awal pacaran, gue udah niatin, sih. Gue mau move on dari Annie, dan gue mau coba buka hati gue untuk Ymir. Lama kelamaan gue bisa, tuh. Sekarang, gue sayangnya udah sama Ymir. Parah sih, woi. Ini gue jatuh cinta beneran sama dia. Emang ya, tak kenal maka tak sayang. Setelah kenal lebih jauh, ternyata orangnya sayang-able banget.”

Reiner mengangguk-angguk, menyeringai mendengar kabar itu dari Bertholdt.

“Akhirnya, ya. Dulu elu yang suka ngeledek gue bucan bucin bucan bucin. Sekarang, makan tuh bucin. Elu malah yang lebih bucin, anjir.”

“Hahahaha, kena karma deh gue.”

“Sekarang paham kan lu gimana perasaan gue? Rasanya kayak mau kasih segalanya ga sih ke cewek yang kita sayang? Kita pengen berusaha paham apa yang dia mau. Kita ga mau buat dia marah. Kita selalu pengen ngelindungin dia. Kita selalu pengen dia bahagia.”

“Paham banget.”

“Nah, sekarang lu jagain tuh Ymir. Karena kalo dia kenapa-kenapa, Hisu bisa marah ga cuma sama lu tapi juga ke gue.”

“Sama. Lu juga wajib jagain Hisu, karena Ymir sayang banget sama Hisu. Gue bisa ikutan digorok kalo sampe lu bikin Hisu sedih.”

“Hahahah, deal. Saling jaga pacar masing-masing.”

“Yoi, Bro.”

Bertholdt tidak menyangka kalau seorang Ymir akan meminta maaf karena kejadian waktu itu. Padahal, walau hatinya saat itu kecewa, dia sudah memaafkan perbuatan Ymir. Dia memaklumi bahwa gadis itu memang jauh lebih sayang Historia, dan hanya menganggap dirinya sebagai pelarian. Tapi sepertinya, tidak demikian. Secara mengejutkannya, ternyata Ymir turut memikirkan perasaan Bertholdt. Bahkan sampai membelikan es krim choco mint kesukaannya, di mana hanya segelintir orang yang tahu.

Hari-hari pun berlalu. Bertholdt terus berusaha membuka hatinya untuk Ymir. Dia perlakukan Ymir sebaik-baiknya, seperti seorang pacar yang dia sayangi. Dan hal tersebut berhasil membuat Bertholdt jadi kebaperan sendiri.

Mereka sering mengobrol ketika dalam ruangan biro dan ketika mengantar Ymir pulang ke kosan. Chat dan teleponan dilakukan setiap hari. Dia sudah berani memegang tangan Ymir ketika mereka sedang jalan bersama; sesuatu yang sebelumnya malu dia lakukan kalau bukan karena kondisi tertentu. Ymir pun sudah tidak keberatan dan makin terbiasa dengan hal itu.

Lalu suatu ketika ada satu momen, di mana hal itu telah sepenuhnya mengubah cara pandang Bertholdt terhadap Ymir, dan juga memposisikan Ymir menjadi nomor satu di dalam hatinya.

Momen itu adalah ketika Bertholdt mengikuti kompetisi untuk mendapatkan gelar juara umum pada Pemilihan Mahasiswa Berprestasi.

Suatu hari, Ymir menyadari ketertarikan Bertholdt untuk mengikuti kompetisi itu ketika si pemuda menghentikan langkahnya untuk sekedar memandangi poster kompetisi itu di mading kampus.

“Lu mau ikut?”

“...engga.”

“Kenapa? Kan lu pinter.”

“Ga sepinter yg lain. Aku ga jago presentasinya juga. Yuk.” Bertholdt kembali berjalan, menjauhi mading.

Tapi, lagi-lagi pemuda itu memandangi poster tadi yang kali ini tertempel dekat gerbang kampus.

“Tuh, kan. Masih penasaran. Ga mau ikutan aja?” tanya Ymir lagi.

“...ga tau. Aku sih mau, tapi…”

Bertholdt berasal dari keluarga yang cukup berada dan terpelajar. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, sejak kecil dia selalu merasa dibedakan dari saudara-saudara kandungnya dan dianggap tidak istimewa. Pieck, kakak perempuannya yang sejak jadi mahasiswi tingkat akhir sudah mempunyai perusahaan sendiri dan sukses, lalu Udo, adik laki-lakinya yang super jenius dan sudah langganan menjadi juara di berbagai perhelatan olimpiade di luar negeri. Sedangkan Bertholdt, bisa dibilang memiliki prestasi akademik yang biasa saja. Memiliki dua saudara kandung yang hebat-hebat membuatnya selalu dibandingkan oleh kedua orang tuanya. Tak jarang hal itu membuatnya merasa minder.

Memasuki masa kuliah, Bertholdt ingin melakukan sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dia pun bisa melakukan hal yang membuat keluarganya bangga. Menjadi Juara Umum Mahasiswa Berprestasi di Universitas Paradis bisa menjadi salah satu caranya.

Namun, ada rintangan yang menghalangi ambisinya tadi, yaitu rasa percaya diri yang tidak dia miliki.

“...tapi aku bahkan ga yakin bisa lolos tahap pendaftaran.”

“Nyoba aja belum, udah mundur duluan. Gimana sih lu. Ayo lah ikut aja, nanti gue bantuin. Janji.”

Jadilah pada akhirnya dengan sedikit paksaan Bertholdt mendaftar ke kompetisi itu. Ymir menepati janjinya, dengan setia menemani pacarnya di setiap proses. Mulai dari mencari bahan untuk materi karya ilmiah, menyusunnya, sampai latihan mempresentasikannya, semua dilakukan Bertholdt dengan dibantu oleh Ymir.

“Lu pasti bisa juara. Pasti itu.” Kalimat itu selalu disebut Ymir berkali-kali dengan sangat yakin.

“Kenapa kamu bisa yakin?” suatu ketika pemuda itu bertanya saat dia sedang latihan presentasi dibantu oleh pacarnya. “Aku ga pinter kayak temen-temen yang lain. Sainganku di antaranya Mikasa sama Armin, lho. Kesempatanku menang itu nol.”

Mendengus kesal, Ymir menggetok kepala pacarnya dengan gulungan makalah.

“Aduh!”

“Capek, deh. Yang bersangkutan malah ga pede.”

“Tapi… kenapa?”

“Emang kamu yakin bisa ambil jurusan itu? Papi tau kemampuan kamu ga seberapa.”

“Ya karena gue liat kemampuan lu mumpuni banget.”

“Abang kan ga sepinter Adek, makanya Abang ga bisa ngalahin prestasi Adek.”

“Sadar ga sih kalo lu itu pinter banget dan itu di segala bidang? Kayak, ga adil banget sih, haha.”

“Aduuh, Dek! Gimana sih kamu, kerjain beginian aja masa ga bisa sampe harus tanya sama Kakak? Kamu bisanya apa sih?”

“Udah gitu, gue perhatiin dari kerjaan di Biro kalo tulisan lu itu berbobot dan tertata rapi. Cocok bikin karya ilmiah. Selain itu suara lu kalo ngomong juga bagus, artikulasinya jelas.”

“Mami kecewa kamu cuma ranking 3 di kelas kamu. Emang percuma kasih kepercayaan ke kamu, kalau dapat ranking 1 aja ga bisa.”

“Pokoknya dengan segala kemampuan lu, gue percaya banget lu bisa juara 1.”

Suara-suara milik keluarganya yang sering menggema di telinga seperti tertepis, dipukul telak dengan pernyataan dari Ymir. Seumur hidup Bertholdt, dia tidak pernah mendengar kata-kata penyemangat. Dirinya selalu diremehkan dan diragukan.

Baru kali ini, dia merasa dihargai dan dipercaya oleh orang lain.

Setelah sekian lama tenggelam dalam keyakinan bahwa dia tidak bisa apa-apa, Bertholdt akhirnya merasakan rasa percaya dirinya kembali menyala. Dan ini semua karena Ymir percaya pada dirinya.

Bertholdt pun memulai kompetisi dengan tekad kuat. Dia nikmati semua prosesnya, dengan dukungan penuh dari Ymir. Lalu, usaha kerasnya akhirnya membuahkan hasil. Setelah persaingan yang sengit, Bertholdt berhasil keluar sebagai Juara Umum Mahasiswa Berprestasi, mengalahkan mahasiswa-mahasiswa pintar lainnya di Universitas Paradis.

Keluarganya ikut berbahagia dan berbangga dengan prestasi besar Bertholdt sebagai mahasiswa terbaik di kampus. Lalu, sesuai saran dari pacarnya, Bertholdt menceritakan perasaan yang sebenarnya kepada keluarganya. Pada akhirnya, orang tua dan saudara-saudara kandung Bertholdt menyadari kesalahan mereka selama ini yang telah menciptakan lingkungan toksik bagi si anak nomor dua, dan meminta maaf.

Ymir telah mempercayainya.

Ymir telah membuatnya yakin akan kemampuannya sendiri.

Bahkan, Ymir telah membantunya memperbaiki hubungannya dengan keluarga.

Semua, karena dia.

Dia yang dari luar terlihat bodo amat dan suka asal bicara, tapi aslinya berhati baik dan perhatian. Dia yang wawasannya luas, sehingga enak diajak ngobrol tentang apapun. Dia yang wajahnya sangat manis ketika tersenyum. Dia yang berhasil mengalihkan dunianya.

“Makasih banyak ya, sayang.”

Itulah pertama kalinya Bertholdt berani memanggil Ymir dengan sebutan ‘sayang’. Hal yang benar-benar dia rasakan kepada gadis itu.

Bertholdt tidak mempermasalahkan si gadis yang tidak mau membalas panggilannya dengan cara yang sama karena risih dengan sebutan itu.

Because you live and breathe Because you make me believe in myself When nobody else can help Because you live, girl My world has twice as many stars in the sky

Because You Live – Jesse McCartney

Ymir merasa sangat bersalah atas kejadian kemarin. Bayang-bayang wajah sedih Bertholdt selalu menghantui. Akhirnya dia jujur pada Historia sepulangnya sahabat kesayangannya itu ke kosan mereka kemarin. Dan tentu saja, Historia mengomeli Ymir.

“Harusnya kemarin kamu langsung minta maaf saat itu juga, Ymir!”

“Abisnya… gue ga nyangka dia bakal sekecewa itu. Ya tadinya gue pikir itu wajar aja. Dia bakal nerima-nerima aja. Tapi setelah denger dia ngomong gitu… Aduh, langsung ga enak.”

“Kamu selama ini pernah ga sih mikirin perasaan dia?”

“...engga…”

“Ih, Ymir! Terus kamu kenapa pacaran sama dia? Kan kamu yang duluan ajak.”

Hal itu tidak bisa dijawab oleh Ymir. Lebih tepatnya, tidak mau dijawab, apalagi di depan Historia. Yang jelas, Ymir benar-benar merasa bersalah dan berniat untuk meminta maaf hari ini.

Bertholdt dirasakan Ymir sedang menghindari dirinya. Biasanya setiap malam pacarnya akan mengucapkan selamat tidur kepadanya, tapi kemarin tidak dilakukan. Chat yang dikirimkan Ymir tadi pagi juga belum dibalas hingga sekarang. Ymir berusaha untuk mencarinya sendiri di beberapa kelas, tapi Bertholdt belum juga ditemukan. Reiner ketika ditanyai juga tidak yakin keberadaan pemuda itu ada di mana.

Hari semakin siang. Es krim choco mint yang dia beli 1 jam lalu terancam semakin meleleh. Oh iya, jauh sebelum itu dia mendapat info dari Reiner bahwa makanan favorit Bertholdt adalah es krim, terutama yang rasa choco mint. Karena itu, Ymir membeli 1 cup untuk dia sekalian berikan kepada Bertholdt ketika dia meminta maaf nanti.

Lalu akhirnya, Ymir menemukan pacarnya bukan di kelas, kosan, maupun ruang biro. Bertholdt berada di kantin, terlihat sedang mengobrol dengan Connie dan Sasha.

“Bert!” panggil Ymir ke pacarnya sambil melambaikan tangannya. Akhirnya ketemu juga.

“Woi, Ymir! Sombong amat lu cuma nyapa Bert tapi kaga gua ama Sasha!” seru Connie ketika si gadis tomboy setengah berlari ke arah mereka.

“Iya ih, Ymir sombong!” timpal Sasha asal ngikut.

“Bodo amat kalo lu pada, mah.” Ymir melengos lalu mengambil duduk di samping Bertholdt.

“Jangan ganggu, elah! Bertot lagi ngajarin matkul susah inih!”

Percuma, Ymir tidak memperdulikan protes Connie dan mengalihkan perhatian Bertholdt kepadanya.

“Bert. Gue cariin ke mana-mana sampe ke ujung bumi kaga ketemu, taunya di sini.”

“Kamu kenapa ga chat aku aja?”

“Lah, kaga lu bales.”

“Masa?” Bertholdt segera mengecek ponselnya dan baru sadar kondisinya sudah mati. “Oh, iya. Lupa di-charge… Sekarang mati hape aku.”

“Hah? Karena hapenya mati?

“Iya, ternyata. Pantesan kok tumben ga ada notif masuk dari pagi.”

“Jadi… bukan karena ngambek?”

“Ngambek?”

“Karena kejadian kemaren itu, lho… Yang di kebun binatang. Gue… mau minta maaf karena udah ngelakuin hal itu. Gue ga mikirin perasaan lu. Gue salah. Ga ada maksud buat nyakitin lu. Gue minta maaf ya, Bert.”

Bertholdt tertegun sejenak, kemudian tersenyum.

“Kamu cariin aku sampe ke ujung bumi untuk nyampein hal ini?”

Bibir Ymir manyun mendengar pertanyaan Bertholdt yang sedikit menggodanya. Hal itu membuat si pemuda bongsor tergelak.

“Ymir, makasih ya. Aku sebenernya kemarin emang kecewa, tapi setelah dibawa tidur dan bangun tadi pagi, aku udah lupa. Aku ngerti kamu lakuin itu semua karena kamu sayang banget sama Hisu. Ya, kan? Aku sih yang harusnya minta maaf karena kemarin udah sempet bilang pernyataan yang menyinggung dan terkesan menyudutkan Hisu.”

“Tapi… Tetep gue sih yang salah karena udah egois. Mulai sekarang, gue janji ga akan gitu lagi.”

“Ya udah, karena sama-sama minta maaf, kita juga sama-sama saling maafin satu sama lain, yaa.”

Bertholdt mengulurkannya kepada Ymir, yang diterimanya lalu mereka saling berjabat tangan.

Deal.”

“Ciee Bertot pake aku kamuu,” goda Sasha melihat interaksi Beruyumi barusan. “Mesra banget siih, kayak orang pacaran.”

“Lah, emang pacaran.”

Langsung dijawab oleh Ymir. Mata kedua orang yang duduk di seberang mereka sampai terbelalak. Bertholdt mendengar itu ikut tersipu. Padahal, pacarannya sudah beberapa minggu, tapi mendengar langsung pernyataan dari Ymir ke orang lain membuatnya berbunga-bunga. Hilang sudah rasa kecewa yang baru dia rasakan hari sebelumnya.

“Oh, iyaaa,” Ymir menepuk jidatnya sendiri sebelum merogoh sesuatu dari dalam tasnya. “Gue bawain es krim nih, tapi udah kelamaan jadi meleleh, deh…”

Isi dari cup berwarna hijau muda tutul-tutul hitam itu adalah es krim kesukaan Bertholdt. Dengan senang hati dia menerima pemberian pacarnya.

“Choco mint?? Kok kamu tau favoritku? Aku suka banget ini!”

“Gue kan intel,” canda Ymir. “Tapi sori ya udah meleleh. Udah ga enak pasti.”

“Ga apa-apa, masih enak. Bisa aku minum kalo udah cair.”

“Kalo ga mau, buat gue aja, Bert!” pinta Sasha hendak meraih cup es krim dari genggaman Bertholdt.

“Enak aja. Ini mbak pacar nih yang kasih!” Bertholdt mengangkat tangannya supaya tidak bisa diraih Sasha.

“Najis dah bucin,” Connie menertawakan pemandangan tadi diikuti oleh Ymir.

“Gimana kabarnya Hisu? Udah ketahuan belum penyebab dia suka nangis sebelum tidur itu?” tanya Bertholdt sambil menghirup es krim cair rasa choco mint tadi. “Hmm, enak. Kamu mau?”

“Ga doyan. Rasanya kayak odol,” Ymir menolak, kemudian lanjut menjawab pertanyaan yang sebelumnya. “Udeh. Ternyata, dia itu lagi keranjingan baca fanfic. Dan dia suka bacain fanfic angst dari kapal-kapal dia. Ya elaah.”

“Ya ampun karena fanfic,” tawa Bertholdt sambil geleng-geleng. Kemudian dia menghirup es krimnya lagi sebelum lanjut bertanya, “Fandom mana yang dia ikutin?”

“Kaga ngarti. Kayak kartun gitu, judulnya ‘Serangan Pada Titan’. Katanya seru banget tapi— Bert, makan es krimnya kenapa berantakan, dah.”

Ymir melihat sisa es krim pada sudut bibir pacarnya. Dia mengusap bibir Bertholdt dengan ibu jari, lalu reflek menjilat sisa es krim itu dari jarinya sendiri.

“Ih, bener kan rasa odol.”

Ymir sempat heran kenapa mulut Connie dan Sasha menganga seperti melihat sesuatu yang mengagetkan, dan juga wajah Bertholdt yang menjadi merah. Sampai tidak lama kemudian dia pun sadar dengan apa yang baru saja dia lakukan.

Dia merasakan wajahnya menjadi panas karena malu. Warnanya pun menjadi sama seperti wajah Bertholdt.

“S-sori, Bert! Ga sadar gue, beneran! Ga ada maksud gimana-gimana!”

Ymir nyaris kabur karena malu dengan siulan dan godaan dari Connie dan Sasha, kalau tidak segera ditahan dan diyakinkan oleh Bertholdt bahwa hal itu tidak memalukan dan masih wajar dilakukan.

Sejujurnya, kelakuan dari Ymir barusan membuat Bertholdt merasa gemas. Dan dia semakin sadar, bahwa selama ini dia sudah mulai menaruh perasaan kepada gadis itu.

Jujur, ketika membaca chat dari Ymir saat itu, Bertholdt merasa bersemangat. Ymir mengajaknya kencan pertama kali sejak mereka berpacaran. Ditambah, Ymir mengajaknya mengenakan baju dengan tema yang sama, yaitu hoodie berwarna hijau. Kebetulan sekali dia punya. Dia tidak tahu alasannya kenapa harus hoodie hijau, tapi dia tidak terlalu memikirkannya karena yang dia tahu adalah akhirnya mereka akan terlihat seperti pasangan pacaran pada umumnya.

Hari berkencan pun tiba. Bertholdt menjemput Ymir di kosannya. Si gadis keluar dari kamar dengan mengenakan tema pakaian yang sama dengan Bertholdt. Hoodie berwarna hijau.

Oh, jadi gini rasanya couple-an baju sama pacar, pikir Bertholdt bersemangat.

Biarpun status mereka berpacaran, tapi sampai saat ini mereka baru sekedar berpegangan tangan saja. Hanya di kondisi tertentu, seperti ketika menyeberang jalan atau ketika Ymir tidak sengaja terpeleset dan hampir jatuh. Itu pun, buru-buru dilepas oleh Ymir karena katanya risih kalau PDA. Bertholdt tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya berpacaran tidak melulu harus bersentuhan fisik. Apalagi, mereka baru mula-mula berpacaran. Lagipula berpegangan tangan dengan Ymir, walau sebentar saja, sudah membuat jantungnya berdegup kencang. Dia sempat digoda Ymir karena ketika dipegang tangannya dingin sekali, seperti mau sidang skripsi.

Kembali ke kejadian sekarang. Mereka berdua pergi ke kebun binatang menggunakan angkutan umum, dan sampai di lokasi sekitar pukul 10 pagi. Karena hari itu adalah akhir pekan, situasi di kebun binatang cukup ramai oleh keluarga-keluarga yang sedang berlibur. Bertholdt dan Ymir berjalan-jalan santai sambil mengobrol ringan. Sesekali celetukan Ymir tentang binatang-binatang di sana membuat Bertholdt tergelak. Namun, Bertholdt menyadari bahwa dari tadi Ymir terlihat sedikit celingukan seperti mencari sesuatu.

“Kamu cari apa, Ymir?”

“...hm? Oh, engga. Engga ada.”

Ymir cengengesan lalu melengos berjalan mendahului pacarnya. Bertholdt sebetulnya penasaran tapi sementara dia biarkan dulu. Sesekali Ymir masih celingukan tapi sudah tidak seperti di awal tadi.

Ketika di kandang jerapah, Ymir bersikukuh bahwa Bertholdt harus foto dengan binatang tersebut karena perawakannya yang sangat tinggi seperti jerapah. Pacarnya cuma pasrah saja karena dia senang bisa melihat Ymir tertawa lebar. Hal yang sama mereka lakukan juga di kandang beruang.

“Ayo foto lagi, Bert! Sekarang lu gaya beruang ngamuk ya kayak gini!” pekik Ymir bersemangat sambil menirukan beruang yang sedang berdiri dan hendak menerkam mangsanya. Dan lagi-lagi, Bertholdt menurut.

“Tadi katanya aku kayak jerapah?”

“Kayak beruang juga! Pokoknya yang gede-gede kayak lu, dahahahah!”

Beberapa saat kemudian tibalah mereka di kandang primata. Ymir kembali terlihat celingukan. Dan kali ini, Bertholdt tidak tahan untuk kembali bertanya.

“Ymir, sebenernya kamu nyariin ap—”

“Ssssstt!”

Tiba-tiba saja Ymir mendiamkan Bertholdt dengan menekan telunjuknya ke bibir si pemuda. Lalu, dia menggandeng lengan Bertholdt dan menariknya ke pojokan, di mana di situ ada banyak tanaman dengan daun-daun hijau yang besar.

“...um, Ymir… Ini kita ngapain?” tanya Bertholdt berbisik, agak nervous karena jarak mereka sangat dekat. Posisi mereka sekarang adalah setengah berpelukan dengan tangan Ymir memegangi kedua lengan Bertholdt supaya dia tidak bergerak ke mana-mana.

Ymir menggamit bagian hoodie dari jaket Bertholdt, lalu dikenakan ke kepala pemuda itu.

“Tenang dulu,” jawabnya singkat sambil mengenakan hoodie miliknya juga.

Pandangan Ymir tertuju ke satu spot di kejauhan, yaitu ke kandang gorila. Ketika Bertholdt mencoba memandang lebih lekat, ternyata yang dilihat Ymir adalah… Historia dan Reiner.

Ymir menarik Bertholdt lebih ke pojokan supaya sosok mereka berdua tidak terlihat pasangan satunya lagi.

“Beberapa hari ini Hisu suka nangis diem-diem waktu mau tidur, tapi ga mau cerita apa-apa. Gue khawatir ni anak lagi berantem sama pacarnya atau gimana. Waktu dia lagi mandi, gue sengaja ngintip chat dia sama si Bagong. Hari ini mereka rencana jalan-jalan ke kebun binatang, mau liat gorila. Makanya gue mau mastiin kalo emang bukan si Bagong yang nyakitin Hisu.”

“Jadi… kamu ajak aku ke kebun binatang supaya bisa ikutin mereka?”

“Iya.”

“Lalu, hoodie ijo ini untuk…”

“Untuk bisa ngumpet di antara pepohonan tanpa ketahuan kalo kita lagi ngintip.”

Pasangan Beauty and the Beast— maksudnya Historia dan Reiner semakin mendekat ke arah mereka. Dengan berhati-hati, Ymir mendengarkan percakapan mereka sambil tetap bersembunyi. Tapi herannya, dia tidak mendengarkan hal-hal yang aneh. Mereka berdua terlihat mesra-mesra saja. Bahkan terdengar bahwa Hisu senang karena kesampaian untuk melihat gorila secara langsung, di mana binatang itu mengingatkannya pada Reiner.

Setelah pasangan itu makin menjauh, akhirnya Ymir bisa bernapas lega. Historia yang dia sayang tidak terlihat sedih ketika bersama Reiner, dan malah terlihat sangat ceria.

Sayangnya, hal itu tidak berlaku pada Bertholdt.

“Bert, udah aman. Syukurlah Hisu keliatan baik-baik aja tadi. Gue udah mau nonjok muka si Bagong kalo sampe Hisu sedih. Bener, ga?” Ymir menoleh ke arah pacarnya untuk mendapatkan respon, tapi si pemuda itu hanya diam saja.

Memang dari tadi pemuda itu hanya diam. Tapi, dia diam karena memendam rasa kecewa. Dipikirnya Ymir mengajak kencan karena memang ingin berkencan dengannya. Tapi ternyata, sosoknya hanya dimanfaatkan.

“Bert?”

“Kenapa harus nyeret-nyeret aku? Kenapa ga kamu aja sendiri yang ikutin mereka?”

“...itu—”

“Apa-apa Historia. Historia ini, Historia itu. Sekarang buat Historia. Nanti buat Historia. Historia segala-galanya.”

Kali ini Ymir yang terdiam. Bertholdt menyibak hoodie miliknya supaya kepalanya kembali terlihat.

“Sampe aku turutin buat pake baju ini. Aku udah seneng karena kita mau couple-an. Biar kayak orang pacaran ceritanya. Tapi taunya, cuma buat nyamar jadi pohon. Aku ngerasa kayak orang bodoh tadi karena udah kegeeran.”

Bertholdt mengatakan itu semua tidak dengan nada tinggi, karena memang secara default dia sulit untuk mengungkapkan kekecewaannya. Biarpun begitu, perkataannya tetap menghujam Ymir.

“Kita pulang aja, ya? Aku udah ga mood mau lanjut jalan-jalan.”

Kali ini Ymir yang menuruti permintaan pacarnya untuk pulang. Lidahnya kelu bahkan untuk sekedar meminta maaf. Sepanjang perjalanan sampai kembali ke kosannya, mereka tidak berbicara sepatah katapun. Bertholdt hanya mengucapkan sampai jumpa kepadanya sebelum berjalan pergi menjauhi kosan Ymir.

Ymir sampai lupa kalau kepalanya sendiri masih tertutup hoodie.

Mulanya, Bertholdt tidak paham harus merasa senang atau tidak setelah akhirnya punya pacar, setelah seumur hidupnya menjomblo. Masalahnya, orang yang menjadi pacarnya bukanlah orang yang selama ini dia idam-idamkan.

Meskipun Bertholdt mengakui bahwa Ymir tergolong gadis yang manis dengan mata sipit dan bintik-bintik tipis gemas pada pipinya itu, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Ymir sejauh ini baru dianggap teman akrab saja bagi dirinya.

Sampai sekarang pun Bertholdt masih terheran-heran dengan ajakan Ymir. Dan dia lebih heran lagi dengan dirinya sendiri, karena saat itu dia mengiyakan ajakan tersebut.

Apakah Ymir hanya memanfaatkannya sebagai pengganti sosok Historia yang direnggut oleh Reiner? Itulah alasan paling masuk akal yang bisa Bertholdt pikirkan saat ini. Mungkin saja Ymir beranggapan bahwa mereka berdua memiliki nasib yang sama, yaitu sama-sama kehilangan sahabat terdekat.

Karena itu, Bertholdt pun akan melakukan hal yang sama, yaitu memanfaatkan Ymir untuk melupakan Annie. Siapa tahu, Ymir bisa jadi pengganti Annie di dalam hatinya. Siapa tahu, Ymir-lah gadis yang selama ini dia cari.

Dengan lapang dada, dan setelah memikirkannya selama sekian hari sampai sulit tidur, Bertholdt akhirnya menerima kenyataan bahwa Ymir adalah pacarnya sekarang. Dia bertekad dan akan berusaha untuk menjadi sosok pacar pula bagi Ymir.

Beberapa hari setelah resmi berganti status, belum ada aura couple yang dikeluarkan oleh mereka berdua. Maklum, masih penyesuaian. Bahkan belum banyak yang tahu bahwa mereka sudah berpacaran. Mungkin tidak akan ada yang menyangka juga.

Intensitas komunikasi baik chat maupun telepon memang jadi lebih sering dibandingkan sebelumnya. Dan, ada satu poin yang berubah dari Bertholdt, yang membuat Ymir tergelak geli.

Bertholdt berhenti menggunakan “gue” dan “lu” ketika berinteraksi dengan Ymir. Dia menggantinya dengan “aku” dan “kamu”.

“Kenapa lu ganti, Bert?”

“Ga apa-apa. Pengen lebih romantis aja. Kayaknya kalo 'aku kamu' itu lebih pas buat orang pacaran.”

”...lu ga pernah pacaran ya sebelumnya?”

“Ga pernah, hehe.”

“Ck ck ck pantesan. Polos amat sih pemikirannya.”

“Hehehe… Ga apa-apa, kan? Apa kamu keberatan?”

“Gue agak geli sebenernya kalo gue yang pake sebutan itu.”

“Ga apa-apa kamu ga usah ubah. Senyamannya aja. Tapi aku tetep pake 'aku kamu', yaa.”

“Ya udah, terserah.”