Masa Lalu (1)
tw // claustrophobia , child abuse , domestic violence , harshwords
Beberapa hari terakhir memang Ymir sengaja menghindar dari Bertholdt. Sejak dia mendengar sedikit percakapan Bertholdt dengan Annie waktu itu, dia merasa harus rehat sejenak dari pacarnya supaya tidak semakin terbawa perasaan, atau baper. Padahal, sebetulnya dia sudah kangen sekali dengan Bertholdt.
Pada malam itu, usai dari mengerjakan tugas kelompok, lagi-lagi dia dimintai bantuan oleh Hitch perihal urusan bironya. Karena sudah larut malam, kali ini hanya ada Ymir, Hitch, dan Floch saja di dalam markas Himapa.
Hitch meminta Ymir untuk mengambil suatu barang di dalam gudang.
“Oke. Kuncinya mana?”
“Ga ada. Gudang itu emang ga pernah ditutup rapat pintunya karena rusak.”
Gudang Himapa adalah ruangan sempit yang penuh dengan barang-barang. Tidak ada jendela dan lubang udara, selain dari pintu gudang itu sendiri. Lokasinya sedikit jauh di belakang dibandingkan ruang-ruang Himapa lain.
Setelah tiba di depan gudang, Ymir membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu dan menyalakan lampu. Ternyata lampunya juga rusak karena tidak mau menyala. Karena dia malas kembali untuk mengambil ponselnya di dalam tas di ruang biro sebagai sumber penerangan, dan karena sudah tahu mau mengambil apa di sana, Ymir tetap masuk ke dalam gudang. Tapi kemudian, karena gelap, tidak sengaja kakinya tersandung kardus dan menyenggol pintu masuk hingga tertutup rapat.
Gudang yang tadinya masih terkena cahaya dari luar, menjadi nyaris gelap gulita dan hanya menyisakan sedikit garis cahaya yang tidak berarti dari celah bawah pintu. Ymir memutar knop pintu dari dalam, namun ternyata terkunci. Dia terjebak di dalam gudang tersebut.
“Aduh sial gue kekunci.”
Ymir masih terus mencoba untuk memutar knop dan menarik pintu, tapi sia-sia. Pintunya tetap tidak mau terbuka.
Kemudian dia menggedor pintu gudang dari dalam sambil berteriak. Harapannya, Hitch atau Floch mendengar teriakannya karena memang pada malam itu di markas Himapa tidak ada seorang pun selain mereka bertiga.
Keringat dingin mulai keluar dari dahi dan pelipisnya. Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih menyesakkan dari satu menit sebelumnya.
“Dasar ga guna!”
“Haloo?! Tolongin dong gue kekunci di gudang! Halooo? Hitch? Floch?”
“Elu cuma jadi beban gue tau ga, hah?! Udah dekil, jelek, tolol!!”
“WOOOYYY TOLONGIN DONG!!”
“Ymir??”
Akhirnya ada yang menjawabnya dari luar. Suara Hitch.
“Pantesan lo lama banget! Anjir lah kenapa sampe kekunci siih kan udah gue bilangin jangan ditutup pintunya!”
“Kesenggol kardus, ga sengaja,” jawab Ymir dengan suara sedikit parau karena berteriak tadi.
Hitch juga mencoba untuk membuka pintu gudang, tapi gagal.
“Kuncinya ga tau ada di mana nih, soalnya emang ga pernah ditutup pintu gudang ini. Gue panggil Floch dulu deh buat bantuin cari kunci. Tunggu, ya.”
Suara langkah kaki Hitch terdengar semakin kecil, menjauhi gudang. Ymir jadi sendirian.
Gelap. Sesak.
“GUE KURUNG LAGI LU DI SINI!”
Kakinya melangkah mundur sampai punggungnya menabrak lemari yang berdebu. Ymir menurunkan tubuhnya untuk duduk di lantai gudang sambil bersandar pada lemari tersebut.
“Bapak, maafin Ymir… Ymir t-tadi kecapekan m-makanya ga lanjut ngamen…”
“Halah! Alesan! Emang lu aje yg males! Ngapain lu lahir kalo ga bisa kasih gue duit, hah?!”
Plak! Bunyi tamparan itu begitu keras. Akibatnya, si anak yang baru berusia sekitar 7 tahun itu jatuh tersungkur ke lantai. Tidak cukup sampai situ, ditendangnya berkali-kali tubuh mungil si anak yang meringkuk, lalu ditariknya lengan si anak dan dilemparnya ke dalam lemari. Lelaki paruh baya itu kemudian menguncinya dari luar.
Ymir mulai merasa kesulitan bernapas. Jantungnya berdegup kencang, pandangannya semakin kabur. Keringat mengucur deras.
“Diem lu di situ!”
Sambil terisak, si anak duduk memeluk lututnya. Seluruh tubuh si anak terasa nyeri akibat tamparan dan tendangan dari lelaki yang dia panggil ‘bapak’ tadi.
“M-maafin Ymir, Bapak…” ucap Ymir, gemetar sambil memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya. Debu dalam gudang membuatnya semakin kesulitan bernapas.
”Lu tega ya sama anak lu sendiri!” Kali ini terdengar suara wanita yang berteriak ke lelaki tadi. “Lu yang ga guna, anjing! Yang cari duit itu harusnya lu! Bukan anak lu!”
”Eh diem lu. Lu juga ga guna. Lonte bangsat.”
”Lu sampah! Kerja lu cuma mabok-mabokan, judi, ga jelas tapi lu masih berani maksa anak lu ngamen di jalan! Setan!”
Buk! Terdengar bunyi pukulan keras dengan benda tumpul mengenai tubuh manusia.
“Ulangin lagi yang barusan. Ulangin lagi kalo masih mau gue hajar!”
“GUE GA TAKUT! PUKUL LAGI! ANJING!”
Terdengar lagi bunyi pukulan, tidak terhitung berapa kali. Si anak menangis semakin menjadi-jadi membayangkan ibunya yang sedang dipukuli oleh ayahnya. Suara pukulan itu akhirnya berhenti ketika tidak ada lagi suara teriakan dari wanita tadi.
“...Mamak?” panggil Ymir lirih. Kepalanya kembali mendongak ke arah pintu gudang.
Suara langkah kaki lelaki tadi terdengar tergesa-gesa keluar dari kamar, meninggalkan si anak yang masih terkunci dalam lemari. Dan… istrinya yang tergeletak di lantai.
“Mamak? Mamak ga apa-apa? Mak, Bapak udah pergi? Bukain lemarinya, Mak. Badan Ymir sakit ditendangin Bapak tadi.”
Tidak ada jawaban dari ibu anak itu.
“Mamak? Mamak! Jangan tinggalin Ymir, Mak! Ymir takut sendirian!”
Ymir sudah berada di depan pintu dan memukulnya berkali-kali dengan harapan pintu gudang itu akan terbuka. Air mata mengalir deras membasahi wajahnya. Dia berteriak-teriak hingga suaranya serak.
“MAMAAAAAK!!”