Karena Dia

Bertholdt tidak menyangka kalau seorang Ymir akan meminta maaf karena kejadian waktu itu. Padahal, walau hatinya saat itu kecewa, dia sudah memaafkan perbuatan Ymir. Dia memaklumi bahwa gadis itu memang jauh lebih sayang Historia, dan hanya menganggap dirinya sebagai pelarian. Tapi sepertinya, tidak demikian. Secara mengejutkannya, ternyata Ymir turut memikirkan perasaan Bertholdt. Bahkan sampai membelikan es krim choco mint kesukaannya, di mana hanya segelintir orang yang tahu.

Hari-hari pun berlalu. Bertholdt terus berusaha membuka hatinya untuk Ymir. Dia perlakukan Ymir sebaik-baiknya, seperti seorang pacar yang dia sayangi. Dan hal tersebut berhasil membuat Bertholdt jadi kebaperan sendiri.

Mereka sering mengobrol ketika dalam ruangan biro dan ketika mengantar Ymir pulang ke kosan. Chat dan teleponan dilakukan setiap hari. Dia sudah berani memegang tangan Ymir ketika mereka sedang jalan bersama; sesuatu yang sebelumnya malu dia lakukan kalau bukan karena kondisi tertentu. Ymir pun sudah tidak keberatan dan makin terbiasa dengan hal itu.

Lalu suatu ketika ada satu momen, di mana hal itu telah sepenuhnya mengubah cara pandang Bertholdt terhadap Ymir, dan juga memposisikan Ymir menjadi nomor satu di dalam hatinya.

Momen itu adalah ketika Bertholdt mengikuti kompetisi untuk mendapatkan gelar juara umum pada Pemilihan Mahasiswa Berprestasi.

Suatu hari, Ymir menyadari ketertarikan Bertholdt untuk mengikuti kompetisi itu ketika si pemuda menghentikan langkahnya untuk sekedar memandangi poster kompetisi itu di mading kampus.

“Lu mau ikut?”

“...engga.”

“Kenapa? Kan lu pinter.”

“Ga sepinter yg lain. Aku ga jago presentasinya juga. Yuk.” Bertholdt kembali berjalan, menjauhi mading.

Tapi, lagi-lagi pemuda itu memandangi poster tadi yang kali ini tertempel dekat gerbang kampus.

“Tuh, kan. Masih penasaran. Ga mau ikutan aja?” tanya Ymir lagi.

“...ga tau. Aku sih mau, tapi…”

Bertholdt berasal dari keluarga yang cukup berada dan terpelajar. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, sejak kecil dia selalu merasa dibedakan dari saudara-saudara kandungnya dan dianggap tidak istimewa. Pieck, kakak perempuannya yang sejak jadi mahasiswi tingkat akhir sudah mempunyai perusahaan sendiri dan sukses, lalu Udo, adik laki-lakinya yang super jenius dan sudah langganan menjadi juara di berbagai perhelatan olimpiade di luar negeri. Sedangkan Bertholdt, bisa dibilang memiliki prestasi akademik yang biasa saja. Memiliki dua saudara kandung yang hebat-hebat membuatnya selalu dibandingkan oleh kedua orang tuanya. Tak jarang hal itu membuatnya merasa minder.

Memasuki masa kuliah, Bertholdt ingin melakukan sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dia pun bisa melakukan hal yang membuat keluarganya bangga. Menjadi Juara Umum Mahasiswa Berprestasi di Universitas Paradis bisa menjadi salah satu caranya.

Namun, ada rintangan yang menghalangi ambisinya tadi, yaitu rasa percaya diri yang tidak dia miliki.

“...tapi aku bahkan ga yakin bisa lolos tahap pendaftaran.”

“Nyoba aja belum, udah mundur duluan. Gimana sih lu. Ayo lah ikut aja, nanti gue bantuin. Janji.”

Jadilah pada akhirnya dengan sedikit paksaan Bertholdt mendaftar ke kompetisi itu. Ymir menepati janjinya, dengan setia menemani pacarnya di setiap proses. Mulai dari mencari bahan untuk materi karya ilmiah, menyusunnya, sampai latihan mempresentasikannya, semua dilakukan Bertholdt dengan dibantu oleh Ymir.

“Lu pasti bisa juara. Pasti itu.” Kalimat itu selalu disebut Ymir berkali-kali dengan sangat yakin.

“Kenapa kamu bisa yakin?” suatu ketika pemuda itu bertanya saat dia sedang latihan presentasi dibantu oleh pacarnya. “Aku ga pinter kayak temen-temen yang lain. Sainganku di antaranya Mikasa sama Armin, lho. Kesempatanku menang itu nol.”

Mendengus kesal, Ymir menggetok kepala pacarnya dengan gulungan makalah.

“Aduh!”

“Capek, deh. Yang bersangkutan malah ga pede.”

“Tapi… kenapa?”

“Emang kamu yakin bisa ambil jurusan itu? Papi tau kemampuan kamu ga seberapa.”

“Ya karena gue liat kemampuan lu mumpuni banget.”

“Abang kan ga sepinter Adek, makanya Abang ga bisa ngalahin prestasi Adek.”

“Sadar ga sih kalo lu itu pinter banget dan itu di segala bidang? Kayak, ga adil banget sih, haha.”

“Aduuh, Dek! Gimana sih kamu, kerjain beginian aja masa ga bisa sampe harus tanya sama Kakak? Kamu bisanya apa sih?”

“Udah gitu, gue perhatiin dari kerjaan di Biro kalo tulisan lu itu berbobot dan tertata rapi. Cocok bikin karya ilmiah. Selain itu suara lu kalo ngomong juga bagus, artikulasinya jelas.”

“Mami kecewa kamu cuma ranking 3 di kelas kamu. Emang percuma kasih kepercayaan ke kamu, kalau dapat ranking 1 aja ga bisa.”

“Pokoknya dengan segala kemampuan lu, gue percaya banget lu bisa juara 1.”

Suara-suara milik keluarganya yang sering menggema di telinga seperti tertepis, dipukul telak dengan pernyataan dari Ymir. Seumur hidup Bertholdt, dia tidak pernah mendengar kata-kata penyemangat. Dirinya selalu diremehkan dan diragukan.

Baru kali ini, dia merasa dihargai dan dipercaya oleh orang lain.

Setelah sekian lama tenggelam dalam keyakinan bahwa dia tidak bisa apa-apa, Bertholdt akhirnya merasakan rasa percaya dirinya kembali menyala. Dan ini semua karena Ymir percaya pada dirinya.

Bertholdt pun memulai kompetisi dengan tekad kuat. Dia nikmati semua prosesnya, dengan dukungan penuh dari Ymir. Lalu, usaha kerasnya akhirnya membuahkan hasil. Setelah persaingan yang sengit, Bertholdt berhasil keluar sebagai Juara Umum Mahasiswa Berprestasi, mengalahkan mahasiswa-mahasiswa pintar lainnya di Universitas Paradis.

Keluarganya ikut berbahagia dan berbangga dengan prestasi besar Bertholdt sebagai mahasiswa terbaik di kampus. Lalu, sesuai saran dari pacarnya, Bertholdt menceritakan perasaan yang sebenarnya kepada keluarganya. Pada akhirnya, orang tua dan saudara-saudara kandung Bertholdt menyadari kesalahan mereka selama ini yang telah menciptakan lingkungan toksik bagi si anak nomor dua, dan meminta maaf.

Ymir telah mempercayainya.

Ymir telah membuatnya yakin akan kemampuannya sendiri.

Bahkan, Ymir telah membantunya memperbaiki hubungannya dengan keluarga.

Semua, karena dia.

Dia yang dari luar terlihat bodo amat dan suka asal bicara, tapi aslinya berhati baik dan perhatian. Dia yang wawasannya luas, sehingga enak diajak ngobrol tentang apapun. Dia yang wajahnya sangat manis ketika tersenyum. Dia yang berhasil mengalihkan dunianya.

“Makasih banyak ya, sayang.”

Itulah pertama kalinya Bertholdt berani memanggil Ymir dengan sebutan ‘sayang’. Hal yang benar-benar dia rasakan kepada gadis itu.

Bertholdt tidak mempermasalahkan si gadis yang tidak mau membalas panggilannya dengan cara yang sama karena risih dengan sebutan itu.

Because you live and breathe Because you make me believe in myself When nobody else can help Because you live, girl My world has twice as many stars in the sky

Because You Live – Jesse McCartney