Ditembak

Bisa dikatakan ini adalah pertama kalinya Bertholdt dan Ymir bertemu di luar kampus, walaupun tujuannya untuk berdiskusi tentang kegiatan Himapa juga. Mereka janjian setelah jam kuliah pagi, yaitu di waktu istirahat makan siang. Karena mereka berbeda jurusan dan gedung perkuliahan, Bertholdt menunggu di taman dekat gerbang kampus sampai Ymir datang. Setelah saling bertemu, Ymir segera mengajak si pemuda berjalan kaki menuju kafe yang sudah mereka sepakati.

The Titan Cafe adalah tempat nongkrong yang cukup populer di kalangan mahasiswa Universitas Paradis. Selain itu, Ymir dan Historia sudah cukup sering mengunjungi kafe itu karena tempatnya cozy, makanannya enak, harganya ramah di kantong mahasiswa, dan punya akses wifi yang cepat.

Ymir memilih tempat yang agak di pojok untuk mereka berdua. Lalu, dia memanggil pelayan untuk memesan makanan.

“Eh, Sandra. Lagi shift-nya lu, ya?”

Pelayan itu adalah teman sejurusan Ymir di kampus.

“Hi, Ymir! Iya, nih. Mau pesen apa?”

Kemudian Ymir menyebutkan menu yang diinginkannya, diikuti oleh Bertholdt.

“Tumben banget hari ini ga sama Historia.”

“Gue lagi diajak nge-date noh sama dia,” ucap Ymir sambil menunjuk ke arah Bertholdt menggunakan bibirnya.

Nge-date. Mendengar hal itu membuat pipi Bertholdt sedikit bersemu. Jika dipikir-pikir lagi, yang mereka berdua lakukan sekarang memang seperti berkencan. Padahal, niat awalnya tentu tidak seperti itu.

Bertholdt tidak berkomentar apapun karena sepertinya Ymir memang hanya bercanda saja kepada temannya dan tidak terlalu menganggap ucapannya barusan penting.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Ymir membuka percakapan duluan.

“Jadi apaan nih yang mau didiskusiin?”

Bertholdt mulai mengeluarkan tablet dan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya. Walaupun dia mengajak Ymir pergi berdua dengannya karena permintaan Reiner, kebetulan memang dia ada bahan pembicaraan terkait tugas mereka sebagai sesama anggota biro di Himapa.

Selama beberapa menit mereka berdiskusi, sebetulnya lebih banyak Bertholdt yang berbicara dibandingkan Ymir. Mata si gadis tomboy terlihat tidak terlalu fokus pada apa yang Bertholdt sampaikan. Bahkan ketika makanan dan minuman mereka tiba, Ymir terlihat tidak terlalu menikmatinya. Hal itu baru Bertholdt sadari ketika dia melihat mata Ymir yang mengarah kepadanya— bukan, tapi lebih tepatnya ke pemandangan di belakang Bertholdt.

“Ymir?” tanya Bertholdt akhirnya, yang membuat si gadis tomboy sedikit tersentak. “Dengerin ga dari tadi?”

“...dengerin. Dengerin, kok.”

Karena penasaran, Bertholdt pun menoleh ke arah belakangnya. Dan betapa terkejutnya dia. Ternyata yang dari tadi diperhatikan Ymir adalah Reiner dan Historia yang juga sedang makan di kafe yang sama. Mereka berdua terlihat sangat akrab. Historia beberapa kali tertawa, dan sesekali tersipu, mendengar Reiner berbicara dengan wajah yang tidak kalah tersipu. Mereka berdua terlihat sangat menikmati waktu bersama di sana.

Bertholdt gelagapan melihat itu semua. Rencananya gagal total. Bukannya menjauhi Ymir dari Reiner dan Historia, dia malah membawanya ke tempat mereka berkencan. Tapi kalau diingat lagi, yang menyarankannya kafe ini adalah Ymir sendiri. Lalu, apakah Ymir sudah mengetahui lokasi Reiner dan Historia akan berkencan? Jangan-jangan dia malah sengaja memilih tempat kafe ini supaya bisa memata-matai mereka berdua?

“Um, Ymir… Itu…”

“Iye. Si bagong ngajak Historia nge-date hari ini. Lu pikir gue ga tau?”

Tuh, kan.

Let me guess. Lu ngajak gue pergi supaya gue kepisah dari Historia, dan supaya gue ga gangguin mereka. Bener gitu, kan?”

Bener buanget.

“Hahah, preeet. Ya gue tau, lah. Kan Historia itu roommate gue. Dia udah ceritain semuanya, termasuk rencana dia nge-date hari ini. Masa bisa sih kebetulan sama lu, pawangnya si Bagong, yang ga pernah ngajak-ngajak gue pergi ini tiba-tiba aja ngajak?”

Bertholdt mengusap-usap tengkuknya sambil tersenyum kecut, merasa sangat tidak enak. Ymir sedikit mendengus tertawa, tapi kemudian wajahnya berubah jadi lebih mellow. Sambil menghela napas panjang, dia pun bertanya pada si pemuda bongsor.

“Reiner orangnya kayak gimana?” tanya Ymir sambil mengaduk-aduk Es Jeruk Kelapa miliknya.

Bertholdt tadinya sudah bersiap akan menghentikan Ymir kalau-kalau si gadis mengamuk di meja Reiner dan Historia. Tapi ternyata tidak demikian, dan malah Ymir seperti membuka sesi wawancara kepadanya. Dan dia paham maksudnya Ymir menanyakan hal tersebut.

“Dia cowok baik, sih. Ga gampang nyerah kalo udah punya keinginan. Sekalinya jatuh cinta, bisa bucin banget. Dia cuma pernah pacaran sekali waktu SMA, itu pun dia diputusin karena ceweknya risih dibucinin terus. Padahal, dia kalo kasih perhatian itu bisa berlimpah-limpah,” jawab Bertholdt, jujur. Bukan hanya karena Reiner adalah sahabat terbaiknya.

“Hm… Ada lagi?”

“Dia setia. Ga genit. Royal. Ga pernah nyakitin cewek.”

“Hm…”

“Gue liat Hisu ini tipe cewek yg malah seneng dibucinin ga sih? Maksud gue, dia kayaknya seneng dapet perhatian lebih dari orang yang sayang sama dia. Gue karena liat lu, sih. Lu kan perhatian banget sama dia, dan dia nyaman-nyaman aja, kan? Dia juga ramah banget, imut-imut, beneran tipenya Rei banget. Makanya menurut gue mereka cocok.”

“Oh, gitu.” Ymir memainkan potongan roti bakar di piringnya dengan garpu.

“Ymir keberatan ga kalo Rei deketin Hisu? Dia sayang banget lho sama Hisu.”

Gue yang lebih sayang sama Hisu.”

“Oh. Oke, gue ngerti.”

“Ga, lu ga ngerti,” ujar Ymir sambil menghela napas lagi.

Dengan sabar Bertholdt menunggu si gadis melanjutkan bicaranya sambil mengunyah nasi goreng.

“Gue cuma mau buat dia bahagia. Gue pikir gue bisa lakuin itu semua sendiri. Tapi, setelah Reiner muncul, dia bisa perlakukan Hisu layaknya ratu banget. Padahal, dia udah gue bohongin, gue ketusin, gue bentak, dan segala macem, tapi dia ga nyerah. Dia tetep gigih deketin Hisu. And you know what? Hisu juga jadi happy banget akhir-akhir ini. Kalo udah gini, masa masih gue halang-halangi? Ya gue akhirnya yang nyerah, lah.”

Sambil memangkukan tangan pada dagunya, Ymir memperhatikan kebersamaan dari 2 sejoli di ujung meja sana dan menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Bertholdt kali ini asik menghirup Es Cappucino andalan kafe itu.

Beberapa detik tidak ada percakapan di antara mereka, tiba-tiba Ymir berbicara kembali.

“Jadian yok, Bert.”

Ajakan tiba-tiba itu membuat Bertholdt tersedak minumannya sendiri. Ymir menawarkan tisu sambil menertawakan Bertholdt yang masih terbatuk-batuk.

“Dahahahah! Anjir, ngape lu, ngab? Kaga ngape-ngape, kan?”

“I-iya, ga apa-apa.”

“Jadi gimana? Mau, ga? Mau lah, ya.”

Bertholdt mengusap sekitaran mulutnya yang belepotan es kopi, matanya terbelalak.

“K-kok tiba-tiba??”

“Nanti kalo mereka berdua jadian, lu ga kehilangan Reiner? Ga kesepian?”

“Bukan gitu, Ymir… Tapi…”

Ya masa hanya dengan begitu bisa langsung dijadikan alasannya jadian sama Ymir??

“Yaudah ayok, lah. Jadian sama gue.”

“Tapi kenapa—”

“Emang gue sejelek itu, ya?”

“Ga gitu, Ymir. Ga gitu.” Sangat bohong kalau bilang Ymir jelek. Malahan sebaliknya.

“Terus? Lu masih mau ngejar Annie?”

Bertholdt sedikit terperanjat mendengarnya, lalu menengok ke kanan dan kiri karena takut ada yg mendengar mereka. Itu adalah rahasia yang hanya diketahui dirinya dan Reiner. Kenapa Ymir bisa tahu?

“Ssssttt Ymir jangan keras-keras, please. Malu.”

“Hahaha… Tuh kan bener. Lu sering liatin Annie sampe lamaaa gitu. Jelas banget kali. Emang lu mau ngejar dia? Lawan lu Armin lho, Sang Ketua Himapa andalan kita semwah.”

“Y-ya ga mungkin, lah…”

“Makanya. Sama gue aja, yok. Gue available, nih. Eheheh…”

Runtuh sudah pertahanan Bertholdt bila Ymir sampai mengungkit perasaannya kepada Annie. Pikirannya langsung blank. Dia seperti tidak sanggup lagi untuk melawan argumen dari si gadis sipit nan manis itu.