omgitsuru

Setelah menyelesaikan laporan biro, lalu mencium kening Annie tanpa minta izin dari Armin, Ymir bergegas keluar Gedung Student Center untuk mencari si mantan terindahnya. Sebelumnya Annie menginfokan bahwa Tim Universitas Paradis yang mengikuti Kompetisi Mahasiswa Berprestasi Nasional sudah kembali dari Marley. Dan sepertinya, hari ini mereka berkumpul di Perpustakaan Pusat.

Tidak ingin membuang-buang waktu lagi, Ymir berlari menuju lokasi tersebut. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari Markas Himapa, tapi tetap saja dengan berlari membuatnya sedikit kelelahan dengan nafas terengah-engah.

Cerobohnya Ymir, dia lupa men-charge ponselnya, sehingga sekarang dalam kondisi mati. Dia tidak bisa bertanya pada siapapun ada di mana tepatnya pemuda itu sekarang. Terpaksa Ymir menyusuri lokasi-lokasi perkiraannya Bertholdt berada.

Di dalam Perpustakaan Pusat kampusnya memang ada ruangan khusus untuk para mahasiswa melakukan pelatihan kompetisi di bidang akademis. Ymir menuju ke ruangan itu dengan harapan segera menemui Bertholdt. Ketika sudah sampai di sana, Ymir hanya melihat Armin dan Mikasa yang sedang bersiap akan meninggalkan ruangan.

“Lho, Ymir? Kok di sini?” tanya Armin seperti heran.

“Liat Bert ga?” Ymir balas dengan pertanyaan lagi.

“Katanya mau nyari lo tadi, tapi dia mampir dulu ke kelasnya Jean.” Mikasa bantu menjawab.

“Ok thanks, Mik. Bye, guys!”

Tanpa babibu, Ymir pergi meninggalkan mereka berdua, dan langsung menuju gedung perkuliahan yang ada di seberang Perpustakaan Pusat. Kebetulan Ymir tau kelasnya Jean ada di mana saat itu.

“Hey, Jean!” sapa Ymir ke pemuda berjanggut tipis itu di dalam kelas. Saat itu kelas sudah berakhir, tapi Jean dan beberapa temannya yang lain masih di dalam untuk mengerjakan sesuatu.

“Lho, Ymir? Tumben. Kenapa?”

“Bert mana?”

“Barusan banget dia di sini. Cuma mau balikin komik yang dia pinjem dari gue. Abis itu ga tau deh, kayaknya ke kantin karena dia bilang dia haus.”

“Oh, yaudah. Kantin, ya. Makasih, Jean!”

Lagi-lagi Ymir gagal menemukan Bertholdt. Sedikit menggerutu, Ymir pergi lagi mencari pemuda itu ke kantin. Di sana, dia bertemu dengan Connie yang duduk di spot favoritnya.

“Botak, lu liat Bert kaga?”

“Wey! Gue udah kaga botak, nih, liat! Rambut gue udah lumayan numbuh!”

Ymir tidak menghiraukan protes Connie, dan kembali bertanya.

“Lu liat dia, kaga?”

“Kaga, beneran.”

Tidak lama kemudian datang Sasha yang membawa seporsi siomay dan seporsi mie ayam.

“Eh, ada Ymir. Apa kabar?”

“Hey, Sha. Liat Bert kaga?”

“Hm, tadi ketemu sebentar, sih. Ga gue ajak ngobrol karena dia kayak keburu-buru.”

“Yah. Udah lama perginya?”

“Ga, kok. Coba deh samperin ke markas. Kayaknya gue ada denger dia ditelpon sama Reiner, deh.”

“Oh… Yaudah. Thanks ya, Sha!”

Ymir meninggalkan duo ConSha yang bertengkar karena rebutan makanan yang dibawa Sasha tadi (Sasha ingin makan kedua porsi itu, padahal satunya adalah milik Connie).

Dia frustasi, kenapa sulit sekali menemui Bertholdt. Sudah ke beberapa tempat tapi gagal terus. Dengan langkah yang tidak sesemangat sebelumnya, Ymir berjalan ke Gedung Student Center untuk kembali ke markas.

Tetapi di tengah perjalanan, tiba-tiba dia melihat Hitch yang seperti berlari terburu-buru menghampiri dirinya.

“Ymir!! Ya ampun, gue cariin ke mana-mana ternyata lo di sini!”

“Kenape lu, Hitch?”

“Tau ga lo, di samping gedung markas, Beruto lagi ribut sama Reiner!”

“Hah??” mata Ymir terbelalak tidak percaya. Bertholdt dan Reiner adalah soulmates. Mereka tidak mungkin berselisih.

“Iyaa! Serem banget, udah main pukul-pukulan! Kayaknya ada kesebut nama lo, deh! Karena gue takut jadinya gue buru-buru cari lo. Hape lo ga bisa dihubungin, anjir!”

“Sumpah, Hitch?? Mereka berantem??”

“Beneraaann! Gih lo liat sana! Siapa tau lo bisa misahin!”

Energi Ymir seperti kembali muncul mendengar kabar buruk tersebut. Dia berlari ke tempat yang disebutkan oleh Hitch. Hal yang dikhawatirkan Ymir, penyebab Bertholdt dan Reiner bertengkar adalah bahwa Bertholdt tahu Reiner ikut campur dalam hubungannya dengan Ymir, dan menjadi marah. Ymir sangat tidak mau itu terjadi, makanya dia merahasiakannya dari siapapun, termasuk Historia.

Gedungnya pun terlihat. Ymir segera belok dari pintu masuk, menuju ke taman di samping gedung. Karena dalam keadaan panik, Ymir tidak menyadari ketika dia berlari di taman samping gedung dia menabrak suatu tembok yang lebar dan keras.

Bruk!!

“Adoh!”

Ymir terpental ke belakang, dengan bokong mendarat duluan ke atas tanah berumput. Sambil meringis kesakitan mengusap dahi dan bokongnya, dia keheranan kenapa tiba-tiba ada tembok besar di lokasi itu.

“Ymir??”

Oh, ternyata itu bukan tembok. Itu adalah Bertholdt, si pemuda bongsor yang punggungnya memang sekeras tembok.

“Kamu ga apa-apa??” Bertholdt mengulurkan tangannya.

Seketika itu mereka berdua seperti merasakan deja vu. Peristiwa ini mirip sekali seperti waktu mereka pertama kali bertemu. Ymir tidak sengaja menabrak punggung Bertholdt, lalu pemuda itu mengulurkan tangannya.

“Kayaknya ini pernah kita alamin, deh,” tawa Ymir sambil tangannya ditarik oleh Bertholdt untuk dibantu berdiri lagi.

“Iya, ya. Kok bisa sama gini, ya?”

“Eh, bentar. Bukannya lu lagi berantem sama Reiner??”

“Hah? Kata siapa? Kok bisa?”

“Lah? Tadi kata Hitch?”

“Masa, sih? Dia cuma bilang ke aku untuk nungguin kamu di sini, waktu aku tanya ke dia kamu lagi ada di mana. Soalnya hape kamu ga aktif.”

“Anjrit... Tadi dia bilangnya lu berantem sama Reiner! Gue tuh nyariin lu ke sana kemari, udah sampe ketemu Armin, Mikasa, Jean, Connie, Sasha, tapi ga ketemu-ketemu. Gue udah kayak dikerjain sama lu...”

“Oh, ya?? Aku ga ada maksud ngerjain kamu, kok... Tadi emang aku juga ketemu sama mereka, tapi ya udah abis itu aku emang nyariin kamu, nungguin kamu di sini kayak yang Hitch bilang.”

“Jangan-jangan kita berdua lagi dikerjain sama Hitch, eh, atau malah sama mereka semua...?”

“Mungkin? Tapi buat apa, ya? Hahaha…”

Kemudian ada sejenak keheningan janggal di antara mereka. Ya, ini adalah kali pertama mereka bertemu dan berbicara lagi sejak putus beberapa minggu lalu.

“Um, gimana kabar lu sekarang?” Ymir membuka pembicaraan duluan.

“Baik. Kemarin aku baru pulang dari Marley bareng Armin sama Mikasa. Kami juara 2 di kompetisi itu. Ga nyangka banget, padahal ga target menang karena saingannya bener-bener superior dari kami.”

“Wah, keren… Kalian emang hebat, sih…”

“Thanks, Ymir. Timnya sih yang keren, bukan kaminya. Kalo kamu, gimana kabarnya?”

“Gue baik-baik aja. Sehat walafiat. Kuliah lancar. Makan teratur, thanks to Hisu yang sering jejelin gue makanan karena katanya gue makin kurus.”

“Syukurlah…”

Kemudian, mereka kembali terdiam.

“Oke, gue bohong. Gue ga baik-baik aja,” ujar Ymir lagi sambil menggigit bibir bawahnya.

“Kamu kenapa? Sakit?” tanya Bertholdt yang wajahnya berubah jadi khawatir.

“Gue… mau… minta maaf. Tentang peristiwa waktu itu. Gue secara sepihak udah mutusin hubungan kita. Jujur hal itu bikin gue kepikiran terus.”

Ymir tertunduk sambil memainkan jemarinya.

“Waktu itu, gue belum paham sama apa yang gue rasain. Gue juga punya prasangka buruk ke lu, bahwa gue pikir lu masih sayang sama Annie dan yang lu lakuin ke gue semua itu cuma sandiwara. Gue udah bikin kesimpulan sendiri, tapi ternyata gue sok tau.”

Kemudian, Ymir menengadahkan kepalanya untuk melihat Bertholdt secara langsung.

“Bert… Maafin gue, ya… Maafin gue kalo selama ini lu mungkin jadi nyalahin diri lu sendiri karena perkataan gue… Maafin gue yang ga peka sama perasaan lu, bahwa lu… Bahwa lu udah—”

Stop sampai di situ.”

“—eh?”

“Biar aku yang lanjutin. Aku juga... mau minta maaf. Sore itu, aku ga semestinya biarin kamu pergi. Tapi karena aku ga ada perlawanan, kamu jadi anggap bahwa dugaan kamu itu benar. Aku takut kehilangan kamu, tapi di saat yang bersamaan aku juga terlalu takut untuk nahan kamu… Kali ini, aku mau jadi laki-laki sejati. Ymir, aku janji akan selalu ada untuk kamu. Kamu mau kan jadi—”

Stop!!”

“—eh?”

“Engga. Ga boleh lu yang bilang. Harus gue yang bilang duluan.”

“Ga mau. Aku yang bilang.”

“Lho, ga bisa. Gue.”

“Aku.”

“Gue.”

“Biarin aku aja, dong. Kan waktu itu kamu yang ajak, sedangkan akunya pasif. Kali ini biar aku!”

“Ga bisa. Gue yang mulai, gue yang mengakhiri. Makanya mesti gue lagi yang mulai!”

“Ga mau. Kali ini harus aku. Ymir, ayo kita jadi—”

“Ga mauuu! Bert, harus gueee!”

“Aku ajaaa!”

“Gueee!”

“Ok, stoop! Kenapa kita jadi berantem?”

Ketika sadar, ternyata mereka berselisih meributkan hal yang sama. Siapa yang harus duluan nembak. Mereka berdua pun menertawakannya bersama.

“Ada-ada aja…” sahut Ymir geli.

“Ymir, daripada kita berantem, kan sebenernya kita udah sama-sama tau poinnya apa, ya.”

Bertholdt mengamit kedua tangan gadis itu, dan menggenggamnya dengan erat. Betapa mereka merindukan hal itu.

“Jadi… gimana? Kita bisa balik lagi kayak dulu?” tanya Bertholdt, menatap lekat lawan bicaranya yang manis itu dengan penuh harapan.

“Hm… gimana, ya…? Sebenernya… ada hal lain yang belum gue kasih tau.” Ymir berkata sambil melepaskan genggaman pemuda itu.

“E-eh? Apa itu?” nafas Bertholdt tercekat mendengar hal itu. Dia takut tiba-tiba Ymir berubah pikiran.

“Sini agak nunduk biar gue bisikin.”

Pemuda itu menuruti permintaan Ymir, dengan menundukkan kepalanya supaya jadi lebih dekat ke arah Ymir. Maklum, perbedaan tinggi mereka lumayan besar, yaitu 20 cm. Dia memiringkan kepalanya, supaya telinga sebelah kanannya lebih dekat lagi ke sumber suara.

Tapi kemudian, Ymir meraih wajah pemuda itu, memutar kepalanya supaya sekarang wajah mereka berhadapan. Dan… dia mulai mendekat perlahan hingga bibir mereka saling bersentuhan.

Hal itu berlangsung sangat singkat, mungkin sekitar 3 detik saja, sebelum gadis itu melepaskannya. Bertholdt hanya bisa membeku.

“G-gue… s-s-sayang sama lu, Bert… G-ga apa-apa kan gue lakuin hal tadi…?”

Wajah bersemu Ymir terlihat sangat sangat sangat menggemaskan bagi Bertholdt.

“...Bert?”

Karena tidak ada respon dari pemuda itu, Ymir jadi khawatir sendiri.

“Lu… ga berkenan, ya? Maaf—”

Belum selesai dengan kalimatnya, Ymir sudah dikagetkan dengan tangan kiri Bertholdt yang terlingkar di pinggangnya, dan tangan kanannya yang sudah meraih wajahnya. Lalu, pemuda itu menciumnya. Kali ini, lebih lama dan lebih dalam.

Ketika akhirnya mereka selesai karena kehabisan nafas, kedua wajah mereka sudah semerah tomat matang.

“Hmph— Dahahahah!!” tawa Ymir menular, membuat pemuda itu mengikutinya tertawa.

Lalu, Ymir mulai pura-pura meringis sambil mengusap bokongnya yang sempat terbentur tanah karena terjatuh tadi.

“Aduduh, pantat gue sakit, niih!”

“Yaah, maafin, yaa.”

“Ga bisa jalan pulang nih gue! Ayo, tanggung jawab! Gendong gue sampe ke kosan!”

Bertholdt terkejut karena gadis itu tiba-tiba melompat ke punggungnya, lalu dengan reflek dia menangkap dan memegangi kaki Ymir supaya gadis itu tidak terjatuh.

“Siap! Apa sih yang engga untuk kamu?” Bertholdt kemudian berlari sambil menggendongnya.

“Woy, kosan gue di arah sebaliknya! Lu salah jalan!”

“Lho, siapa yang bilang aku mau bawa kamu ke kosan? Hahaha!”

“Tolooong saya diculik aaaaahh!”

Tangan kiri Ymir menutupi sebagian wajah Bertholdt dan mengganggu pandangan pemuda itu.

“Ymir! Ga keliatan! Nanti aku kesandung dan bikin kita jatoh, lho!”

“Dahahahaha!!” Ymir tertawa keras sambil mengacak-acak rambut Bertholdt, tapi pemuda itu tidak marah dan malah ikut tertawa bersamanya.

“Yang barusan lo foto juga ga??”

“Aduh, sori Hitch. Kamera hape gue jelek, ga bisa foto gambar bergerak.”

“Ah, elah! Lagian hape jelek gitu lo beli! Makanya pake Urudroid donk, Floch!”

“Anjir kan gue ngirit. Lagian gue tetep dapet foto yang cipokan!”

“Yaudah sini gue minta!”

“Ih ya ampun gemesnyaaa mereka berduaa.”

“Sstt lu jangan kenceng-kenceng, Sha. Nanti penyamaran kita kebongkar.”

“Kan mereka udah makin jauuh. Badan gue gatel-gatel nih, Con. Kenapa sih kita harus ngumpet di semak-semak??”

“Ya kan kita udah diamanahkan Baginda Armin untuk ikut menyatukan dua insan yang sempat terpisah itu.”

“Gaya lu, Con. Padahal tadi yang mesti akting itu guee.”

“Tapi gue dapet foto barusan, yang lu bilang gemes itu!”

“Mana, mana, liaat!”

“Rencana kamu berhasil.”

“Hehe. Iya dong, Ann. Armin gitu, lho.”

“Kok bisa sih kepikiran? Sampe kamu koordinir anak-anak kayak gitu.”

“Bertholdt curhat ke aku sekitar 4 hari lalu. Dari situ, aku muncul ide, deh. Akhirnya aku minta tolong kamu, Mikasa, Jean, Connie, Sasha, Hitch, dan Floch. Tapi sebenernya yang punya ide sampe ke drama-dramanya itu Hitch sama Floch, sih.”

“Hm, ga heran kalo mereka berdua, mah.”

“Tapi aku malah lupa kabarin Hisu sama Rei. Mereka lagi sibuk jadi asisten lab sama jadi pelatih tim futsal kampus ya kalo ga salah.”

“Udah aku chat tadi si Hisu. Ga apa-apa, di sisi dia aman. Dia dukung kok. Makasih banget, katanya.”

“Oke, siip. Eh awas, jangan terlalu senderan ke railing balkon, nanti kamu jatuh. Inget, ini lantai 3.”

“Kan ada kamu yang pegangin.”

Pada hari itu, Annie meminta bantuan Ymir untuk merapikan data dan laporan biro mereka. Karena Bertholdt yang biasanya diandalkan mengerjakan hal itu sedang sibuk kompetisi nasional, sesungguhnya mereka agak kewalahan menggantikan perannya. Dan secara kebetulan, hanya Ymir-lah yang pada siang itu punya waktu luang untuk membantu Annie.

“Makasih ya Ymir, udah mau gue repotin.”

“Santai aja, Ann. Kan gue anggota biro ini juga.” Sambil tersenyum, Ymir membalas dengan acungan jempol.

Mereka bekerja sekitar 2 jam, waktu yang lebih lama dari yang dibutuhkan Bertholdt untuk mengerjakan hal yang sama.

“Ini gimana sih si Beru ngerjainnya? Kok bisa cepet banget kalo dia yang ngerjain?”

“Kaga tau ya, kalo dia yang ngerjain kayak efisien gitu, sat set sat set,” balas Ymir terhadap gerutuan Annie.

“Kenapa bisa pas banget ya waktu kompetisinya sama deadline ngumpulin laporan, hm.”

Kemudian mereka kembali berkutat dalam pengerjaan laporan tersebut.

“Btw, Ymir?”

“Hm?”

“Gue… boleh kepo?”

“Perasaan nama lu itu ‘Annie Bomat Leonhart’ deh, bukan ‘Annie Kepo Leonhart’.” Ymir berkelakar tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

“Betul banget. Tapi ini menyangkut Beru.”

Nama itu akhirnya sukses membuat Ymir mengangkat kepalanya.

“...kenapa dia?”

“Ini memang bukan urusan gue, tapi sejak putus sama lo, dia berubah. Aslinya dia emang pendiem, sih. Tapi, sekarang makin diem dan murung. Biasanya kalo ada masalah atau apapun, dia curhat ke gue dan Reiner. Tapi untuk kali ini, dia bener-bener diem, ga mau cerita.”

Ymir dan Annie yang duduk berseberangan sekarang saling berpandangan, sudah tidak mengacuhkan pekerjaan mereka.

Masa sih Bert juga segalau gue? Pikir Ymir.

“Ah, masa?”

“Armin juga bilang Beru ga fokus waktu pelatihan atau waktu diskusi bareng dia dan Mikasa. Gue yakin banget ini ada kaitannya sama lo, Ymir. Gue ga tau apa yang terjadi di antara kalian. Soalnya, selama ini yang diceritain sama Beru itu hal-hal yang bagus aja tentang lo. Dia happy banget sama hubungan kalian. Dia juga pernah cerita, keberhasilan dia jadi Mapres itu berkat lo. Lo udah kasih dia semangat dan kepercayaan, hal-hal yang ga dia dapetin dari keluarganya. Dia anggep lo sebagai penerang hidupnya.”

Ymir menatap Annie dengan ekspresi terkejut, tidak percaya.

“Denger-denger dia rujuk sama keluarganya juga berkat saran dari lo untuk speak up ya? Itu keren banget, sih. Gue sama Reiner udah berkali-kali dicurhatin tentang keluarganya, tapi baru lo yang bisa kasih solusi konkrit ke dia. Dan berhasil. Lo udah kasih banyak perubahan positif ke dia. Lo udah seimbangin dia dengan karakter tegas lo. Gimana ga klepek-klepek dia sama lo? Gimana dia ga terpuruk waktu lo putusin dia?”

“Bentar, Ann. Barusan yang lu bilang itu bener?”

“Masa gue bohong? Ngapain?”

“Ga, ga. Gini. Jadi sebenernya gue pernah ga sengaja dengerin kalian berdua ngobrol di sini. Dia waktu itu… nembak lu, Ann. Dia bilang dia suka sama lu, dari kalian kecil. Gue inget banget, ga mungkin salah denger.”

”...oh. Yang itu. Lah ada lo juga? Oh… Jangan-jangan itu pas Hitch minta bantuan lo ya? Iya iya, gue waktu itu juga ada di sini sama Beru.”

“Nah, kan. Bener.”

“Kenapa lo ga masuk aja waktu itu?”

“Gila kali, masa gue gangguin kalian berduaan? Apalagi topiknya kayak gitu.”

“Lo dengerin sampe abis ga?”

“Kaga, lah. Ngapain.”

“Lo dengerin sampe bagian mana? Berarti… lo ga tau dong apa yang sebenernya dia rasain?” Annie menyilangkan tangan di depan dadanya.

“...bahwa dia suka sama lu walaupun lagi pacaran sama gue?”

Ymir mengernyit melihat Annie menghela nafasnya, panjang.

“Bahaya nih kalo dengernya sepotong-sepotong. Bentar… Biar gue tebak. Alasan lo putusin dia, apa mungkin karena lo pikir dia masih suka sama gue?”

Mata Ymir sedikit melebar mendengar hal itu. Tepat sekali. Itu salah satunya.

“Bener, ya? Hadeh…” si gadis rambut pirang menghela nafasnya lagi. “Kayaknya mesti gue klarifikasi, nih. Jadi, waktu itu Beru dan gue ngomong gini…”

–Flashback Percakapan Annie dengan Bertholdt beberapa minggu lalu–

“Gimana maksud lo?”

“Ann jangan bikin gue ulang lagi dong perkataan tadi.”

“Karena gue masih ga percaya.”

“Ini beneran. Gue… naksir lu, Ann. Dari kita SD dulu. Aduh, akhirnya kesebut juga.”

“...lo kan udah punya Ymir. Dan lo tau juga kalo gue udah sama Armin.”

“Iya… Tapi gue ngomong gini bukan berarti punya maksud deketin lu, kok. Jangan salah sangka dulu, Ann. Gue… apa ya? Mau ungkapin aja setelah sekian lama gue pendam, biar gue lega. Dan gue baru berani ngomong gini karena gue udah ikhlas, istilahnya, ngelepas lu. Gue tau gue ga punya kesempatan sama lu, makanya gue berusaha cari ‘pengganti’ lu. Kata ‘pengganti’ mungkin terlalu kasar kali, ya? Haha, tapi ya gitu, lah. Akhirnya, gue menemukan sosok ‘pengganti’ itu di Ymir, pacar gue sekarang. Gue udah move on. Karena udah move on itulah, gue berani ungkapin perasaan gue yang dulu ke lu sekarang. Gue mau lu tau, dan gue juga mau hati gue lega.”

“Oh, jadi kayak gitu… Sumpah ga nyangka.”

“Se-ga peka itu kah, lu? Hahaha… Kayaknya semua orang tau deh, kecuali lu sendiri. Ymir aja udah tau sebelum kami pacaran.”

“Dan dia ajak lo pacaran walaupun dia tau lo punya perasaan sama gue?”

“Itulah misterinya. Tapi ga apa-apa, apapun niat dia, pokoknya gue mau jalanin sama dia dulu. Lu tau ga, kalo dia support system gue yang nomor satu di kala pemilihan mapres kemarin? Dia dukung gue habis-habisan di saat gue, dan mungkin keluarga gue dan orang lain juga, meragukan kemampuan gue sendiri. Dia udah meningkatkan kepercayaan diri gue. Baru kali ini gue ga merasa worthless di depan orang lain. Gue merasa dia melengkapi gue dengan keunikan dia. Pokoknya, gue udah terlanjur jatuh cinta sama dia.”

“...wow. Beru, gue baru kali ini ngeliat lo sebucin itu sama cewek.”

“Iya, ya. Gue kayaknya bisa lebih menggelikan dari si Reiner.”

“Asli, sih.”

“Semoga dia ga keberatan untuk jalanin hubungan ini lebih lama sama gue. Gue beneran serius sama dia. Tebakan gue sih, waktu itu dia ajak gue pacaran buat nyari temen aja. Tapi, ga apa-apa. Walaupun mungkin sekarang dia belum bisa sayang sama gue sebagai pacar, gue akan bikin dia lama-lama jatuh cinta sama gue. Kalo kata lirik lagunya band Dewa dari negara sebelah, mereka bilang, “Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu, biar cinta datang karena telah terbiasa.” Gituu.”

“Hahaha! Beru, agak geli ga, sih? Ini sih lo bener udah ngalahin si Inah.”

“Waduh, jangan sampe Ymir denger, kalo gitu. Bisa mual dia, haha!”

–Akhir dari Flashback–

“Kayak gitu.” Annie mengakhiri ceritanya.

Ymir mendengarkan dengan mulut ternganga.

“Sepanjang itu percakapan kami, dan lo cuma dengerin bagian awalnya aja. Ya pantes lah kalo salah paham. Jadi? Udah clear, ya? Beru ga punya perasaan lagi ke gue. Fix, dia udah ter-Ymir-Ymir.”

Artinya, hal yang pernah diberitahu Reiner kepadanya, bahwa Bertholdt belum bisa melupakan Annie, adalah bohong.

“Bentar, Ann. Oke, gue percaya sama lu. Gue akuin gue udah salah paham. Tapi, itu kan dulu. Bert yang sekarang, udah punya cewek baru, tuh.” Ymir masih mencoba mencari-cari celah.

“Kata siapa?”

“Gue liat sendiri. Ga sampe seminggu yang lalu. Dia gandengan sama cewek cantik di parkiran kampus.”

“Ga sampe seminggu lalu… Itu hari Rabu, bukan?” Annie memiringkan kepalanya sambil mencoba mengingat.

“Iya, Rabu minggu lalu, siang-siang. Sama cewek mungil, rambutnya hitam panjang, bergelombang gitu. Matanya sayu kayak Bert juga.”

“...Ymir. Sumpah, ya. Lo belum tau?”

“Apaan?”

“Lo belum pernah dikenalin ya? Astaga, Ymir… Itu bukan ceweknya Beru. Itu tuh Kak Pieck! Kakak kandungnya!”

“...anjir.”

“Lah kan mereka mirip.”

Setelah dipikir-pikir… IYA JUGA.

“Kak Pieck kebetulan minggu lalu mampir ke kota ini untuk urusan kerjaan. Terus dia minta dijemput sama Beru, mau jalan-jalan keliling kampus ini. Dia juga sempet ke ruangan ini lho, nyapa gue sama anak-anak lain. Emang waktu itu lo ga ada. Padahal Kak Pieck mau kenalan tuh sama lo.”

Semua keraguan dan prasangka Ymir terhadap Bertholdt pada akhirnya terkonfirmasi dengan jelas, thanks to percakapannya dengan Annie.

“Ann… Gue boleh nyium lu ga?”

“Beresin laporan ini dulu. Abis itu, ijin dulu sama Armin, ya.”

Kompetisi untuk para mahasiswa berprestasi se-nasional diadakan di Marley, tepatnya kota Liberio, selama 3 hari. Perwakilan dari Universitas Paradis adalah Top 3 Mahasiswa Berprestasi, yaitu Bertholdt, Armin, dan Mikasa.

Sejak mereka melakukan pelatihan di kampus, sampai tiba di masa kompetisi di Marley, Armin memperhatikan sikap Bertholdt yang tiba-tiba berubah dari biasanya. Dia jadi lebih banyak murung, dan hanya berbicara seperlunya. Begitupun ketika mereka berdiskusi untuk proyek yang akan mereka presentasikan, Bertholdt sering melamun dan kurang fokus, sampai beberapa kali ditegur oleh Mikasa.

Ketika ditanya apa sebabnya, Bertholdt mengaku tidak terjadi apa-apa. Barulah ketika Armin bertanya kepada pacarnya, Annie, dia tahu bahwa alasan Bertholdt seperti itu pasti karena dia baru putus dari Ymir.

Sampai di situ, Armin tidak mau mengorek informasi lebih jauh lagi. Dia menghargai privasi Bertholdt.

Tapi lama kelamaan, Armin mulai merasa kalau ketidakfokusan Bertholdt ini sudah terlalu lama, dan dikhawatirkan akan mengganggu kompetisi mereka.

Ketika sampai di Marley, mereka tinggal di asrama kampus milik Universitas Marley, dan Armin sekamar dengan Bertholdt. Dia menggunakan kesempatan itu untuk berbicara dari hati ke hati kepada si pemuda bongsor.

“Bertholdt,” panggil Armin, membuat pemuda yang duduk di kursi belajar kamar mereka menoleh. Armin sendiri duduk di pinggir tempat tidurnya.

“Ya, Ar?”

“Sori yang kalo perkataan gue ini mungkin nyinggung lo. Tapi Bert, beberapa minggu ini gue perhatiin kalo lo sering keliatan kurang fokus sama kompetisi ini. Kalo gue boleh tebak, ini karena lo putus dari Ymir, bukan?”

Bertholdt diam sejenak, tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari lisan Armin.

“...keliatan banget, ya?”

“Bukan keliatan lagi. Lo jadi berubah. Lebih sering bengong, terus suka ga dengerin kalo kita bertiga lagi diskusi. Padahal kita mau kompetisi, lho. Emang sih, ga muluk-muluk mau menang, tapi kita kan tetap harus berikan yang terbaik.”

Pemuda yang duduk di kursi tertunduk sejenak, sambil tetap mendengarkan si pemuda rambut pirang.

“Gue sih berharap urusan pribadi lo ga ngeganggu kompetisi kita ini, dan gue mohon lo bisa lebih fokus lagi untuk ke depannya.”

Thanks ya Ar atas reminder-nya. Iya… Gue harusnya ga boleh kayak gini. Maaf banget. Padahal udah sering ditegur Mikasa.”

Armin merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata. Besok adalah hari pertama kompetisi. Mereka harus segera beristirahat.

“Armin?”

“Ya?” Bertholdt tiba-tiba memanggilnya, membuat matanya kembali terbuka.

“Menurut lu, gue ini pengecut bukan?”

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

“Gue… waktu Ymir minta kami putus, gue shock. Sampe ga bisa jawab, apalagi ngejar dia. Gue insecure sama diri gue sendiri, yang ada gue malah nyalahin diri sendiri. Gue ngerasa ga pantes buat cewek sebaik dan sesempurna dia.”

Armin sudah di posisi duduk kembali, dan mendengarkan Bertholdt dengan seksama.

“Harusnya dia bisa gue tahan waktu itu. Tapi gue terlalu takut, terlalu pengecut. Padahal, alasan yang dia kasih ke gue itu ga bener. Dia bilang, dia ga bisa jadi pengganti Annie buat gue, padahal gue udah sepenuhnya move on ke dia.” Sepersekian detik kemudian Bertholdt tersadar dengan perkataannya, dan menutup mulutnya.

Annie kan pacarnya Armin.

Tapi ketika dia melihat Armin, pemuda itu hanya mengangguk dan tetap memperhatikan Bertholdt seperti biasa saja.

“Sori… Gue ga ada maksud, beneran…”

“Bert, gue udah tau kalo soal itu.”

“Eh?”

“Iya, itu udah jadi rahasia umum. Dan itu juga yang bikin gue makin gencar deketin Annie.”

Armin menggaruk-garuk tengkuknya sambil tertawa sedikit.

“Kalo boleh cerita sekilas, dulu kan gue naksir juga ya sama Annie, sejak Mikasa kenalin gue ke dia. Tapi, Annie punya 2 bodyguard ternyata, yaitu lo dan Reiner. Kalo Reiner keliatan udah kasih lampu hijau nih, tapi lo yang gue khawatirin. Gue tau perasaan lo ke dia. Dan lo sahabat dia, orang yang dekat sama dia. Jujur, gue iri sama lo.”

Iri? Seorang Armin? Kepadanya?

“Becanda banget lu, Ar. Kebalik itu, mah.”

“Gue serius… Gue bener-bener iri sama lo. Lo tuh tenang, pinter, efisien, jago olahraga, cepet banget nyerap informasi. Dan untuk alasan yang lebih personal, badan lo tinggi, atletis, ga kayak gue yang pendek dan klemer-klemer ini.”

Bertholdt masih tidak bisa mempercayai pengakuan Armin barusan.

“Gue khawatir banget cowok perfect kaya lo bisa dapetin Annie, haha. Makanya gue manfaatin posisi gue sebagai Ketua Himapa dan jadi punya kesempatan lebih luas buat deketin dia. Waduh, gue jadi ngaku deh kalo gue sempet abuse of power.”

Armin menggaruk-garuk lagi tengkuknya.

“Lho? Jadi gue yang curhat. Haha, kebiasaan, nih… Sori, Bert. Malah jadi ga fokus sama cerita lo.”

“Gue masih ga percaya. Lu, Ar? Iri sama gue? Selama ini yang ada gue yang iri sama lu.”

“Hahaha… Ya, begitulah. Biasanya rumput tetangga memang lebih hijau. Oh iya, satu lagi. Waktu lo juara Mapres beberapa waktu lalu, kalo boleh jujur lagi, gue terpukul banget ga bisa jadi juara. Gue sampe dimarahin sama Annie karena gue ga bisa bersyukur.”

Armin tergelak melihat ekspresi tidak percaya dari Bertholdt.

“Tadi lo bilang kalo lo insecure, ya? Padahal sih gue ga liat ada hal yang perlu lo khawatirin dari diri lo. Ini… bisa dibilang jadi reminder buat diri gue juga, sih. Kita jangan selalu ngebanding-bandingin diri kita sama orang lain. Daripada insecure, lebih baik kita syukuri apa yang udah Tuhan kasih, karena tiap orang punya keunikan dan kelebihan masing-masing. Dan kita jangan berhenti untuk perbaiki apa yang menurut kita kurang dari diri kita.”

Kembali Armin merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil menarik selimut.

“Poin gue, lo pantes buat Ymir. Ymir pantes buat lo. Lo bukan pengecut, selama lo sadar kalo lo salah langkah, dan mau perbaiki hal itu. Kalo lo masih sayang sama dia, dan mau dia balik ke pelukan lo, ya gas aja. Belum terlambat, kok. Mungkin ga sih, kalo dia diem-diem juga ngerasa insecure, atau juga bingung sama diri dia sendiri? You have to find it out yourself. You have to convince her, that you love her. That she’s your Goddess. That she’s everything you’ve been thinking of.”

Bertholdt menyesal, kenapa tidak dari dulu saja dia curhat seperti ini ke Armin??

Ymir merindukan Bertholdt. Dia mengakuinya.

Sejak mereka putus pada sore hari itu, Ymir belum melihatnya lagi. Kabar yang dia dengar, mulai bulan itu akan diadakan kompetisi untuk para mahasiswa berprestasi se-nasional. Perwakilan dari Universitas Paradis adalah Bertholdt, Armin, dan Mikasa. Mereka bertiga memang jarang terlihat akhir-akhir ini karena sedang fokus melakukan persiapan. Mereka libur sejenak dari kegiatan Himapa, dan tidak pernah terlihat berada di dalam markas.

Kesempatan untuk berpapasan pun cukup sulit, karena Ymir dan Bertholdt berbeda jurusan dan gedung perkuliahan. Padahal dengan tubuh sebongsor itu, seharusnya Bertholdt lebih mudah terlihat di kerumunan. Tapi tidak, dia tetap tidak terlihat.

Dan akhirnya, setelah sekian lama, tibalah masa ketika Ymir bisa melihat mantannya lagi dari kejauhan.

Tapi sayang, Ymir melihat sesuatu yang membuatnya terkejut dan… cemburu. Sangat.

Yaitu pada suatu siang ketika dia melihat Bertholdt di parkiran kampus, dan baru keluar dari mobil dengan digandeng oleh seorang wanita. Ya, ada wanita cantik dengan rambut hitam panjang bergelombang, menggandeng pemuda itu. Mereka cocok.

Mereka berjalan bersama menuju lingkungan kampus. Terlihat akrab sekali. Sejak kapan Bertholdt membawa mobil ke lingkungan kampus?

Oh, jadi Bert udah dapet gandengan baru. Good for him.

Tapi apa yang dia katakan untuk dirinya sendiri itu sangat tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dia rasakan. Matanya terasa hangat dan basah. Dan tanpa dia sadari, kakinya sudah berlari menjauhi lingkungan kampus, menuju kosannya.

Secara kebetulan, ternyata Historia berada di dalam kamar mereka.

“Oh, Ymir? Kamu balik ke kamar juga? Aku ketinggalan map isi banyak kwitansi, nih. Makanya aku balik buat ambil—”

Historia tidak melanjutkan perkataannya karena Ymir sudah berlari ke arahnya dan memeluk gadis mungil itu, sambil berurai air mata.

“Kamu kenapa nangis??”

Meskipun khawatir, tapi Historia tidak memaksanya untuk segera menjelaskan apa yang terjadi. Ketika sudah sedikit tenang, akhirnya Ymir mulai berbicara.

“G-Gue sayang sama lu, Hisu… Sayang banget…”

“Iya, aku tau.”

“Tapi… Gue bingung… Ga ngerti. Waktu sama Bert, gue nyaman. Yang gue rasain itu beda…”

“Oke… Beda kayak gimana?”

“Dia ga kayak cowok-cowok lain yang sering bikin gue ilfeel. Ga pernah gue tunjukin karena tengsin kan ya, tapi sebenernya kalo sama dia tuh, gue seneng terus rasanya. Orangnya perhatian, sering sadar sama hal-hal kecil. Gue ganti parfum atau potong poni dikit aja dia sadar. Terus, dengerin cerita dia itu menyenangkan. Orangnya kan pemalu, tapi kalo ke gue dia seneng ngobrol, topik apaan aja nyambung, pokoknya pinter banget. Terus, dia ga pernah marah… Beberapa kali sering nenangin gue kalo gue kesel sama sesuatu, padahal sambil gue marah-marah dan ngomong kasar tapi dia ga pernah marah balik… Pokoknya sabar banget… Terus, waktu dia nolong gue dengan keluarin gue yang kekunci di gudang Himapa, inget ga sama cerita gue yang tiba-tiba aja malamnya gue mimpi ditolongin sama dia keluar dari mimpi buruk ruang sempit itu? Sejak itu gue ga pernah mimpi kayak gitu lagi... Hisu, gue udah lepasin orang sesempurna itu, orang yang udah menyelamatkan hidup gue... Malah gue putusin…“

“Ymir… Sebanyak itu alasan untuk pertahanin hubungan kalian, tapi kenapa akhirnya kamu pilih putus? Dan kenapa kemarin-kemarin kamu ga ceritain ini ke aku? Kamu cuma bilang kalo kamu pacaran sama dia karena iseng aja, nyari temen buat gantiin aku. Lama-lama kamu bosen sama dia, terus pengen punya waktu sendiri karena kata kamu dia terlalu clingy?”

Ymir merahasiakan cerita bahwa Reiner telah menemuinya dan secara halus menyuruhnya untuk mengakhiri hubungan dengan Bertholdt. Dia tidak mau Historia akan kecewa pada pacarnya itu, walaupun apa yang dilakukannya bukan hal yang salah karena Reiner pun memiliki sahabat yang dia sayangi dan yang ingin dia lindungi.

“Ya pokoknya gue goblok aja waktu itu… Gue insecure, ngerasa ga pantes buat dia. Ga ngerasa bisa sayang sama dia, ga ngerasa bisa balas itu semua. Ngerasa dia pantes dapetin yang lebih baik dari Ymir yang bahkan ga punya nama panjang ini…”

Historia menggosok-gosok punggung Ymir dengan lembut, sambil mempererat pelukannya.

“Semua udah telat. Gue ga bisa balik lagi ke masa itu. Tadi… Gue liat dia gandengan mesra sama cewek lain. Dia udah punya pacar baru, Hisu… Sialnya, gara-gara itulah gue jadi tersadar. Gue pikir yang bisa bikin gue kayak gini cuma lu, Hisu. Tapi ternyata… Gue itu selama ini udah… jatuh cinta sama Bert…”

Ymir yakin keputusannya berpisah dari Bertholdt sudah tepat.

Dan tentunya dia tidak berbohong. Alasannya karena memang dia mencintai Historia. Dan karena dia merasa jadi pihak yang jahat dengan memanfaatkan kebaikan dan kepolosan Bertholdt.

Sudah sewajarnya dia mengambil keputusan untuk berpisah, untuk kebaikan mereka bersama.

Ymir menjalani kegiatan seperti biasanya, seperti ketika dulu belum mengenal pemuda itu.

Hari-hari pun terlewati. Berkuliah, berkegiatan di biro, sesekali berkumpul dengan Connie dan Sasha, lalu pulang ke kosan, adalah hal-hal yang umum Ymir lakukan. Hal yang membedakannya hanyalah bahwa Historia tidak selalu ada untuk menemaninya. Bukan karena gadis itu sibuk dengan pacar gorilanya, melainkan karena sebagai Bendahara Umum Himapa sekaligus asisten laboratorium (yang merupakan amanah yang baru saja dia dapatkan) Historia memiliki jadwal kegiatan yang lebih padat dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Ketika sudah pulang ke kosan, gadis mungil itu seringkali sudah terlalu lelah untuk melakukan hal lain selain beristirahat. Seperti malam ini.

Biasanya, sebelum tidur Ymir akan mengobrol dengan Historia sampai mereka benar-benar mengantuk. Atau, dia akan ditelepon oleh Bertholdt melalui panggilan suara maupun video. Pemuda itu akan menceritakan tingkah kocak Connie di dalam kelas yang membuat Ymir tertawa terbahak-bahak, pertengkaran sengit antara Eren dan Jean yang cuma dikarenakan rebutan masuk kelompok yang ada Mikasanya, atau sekedar menceritakan secara singkat bagaimana kegiatannya sebagai Mapres bila pada hari itu mereka tidak bertemu.

Lho? Kok dia jadi teringat si bongsor itu?

Kesal pada dirinya sendiri, Ymir memaksakan dirinya untuk tidur walaupun sebetulnya belum mengantuk.

Hal itu sering terjadi. Ketika dia melakukan suatu kegiatan atau berada pada suatu tempat, entah kenapa yang teringat adalah sosok pemuda itu.

Keputusan untuk berpisah dengannya adalah tepat, bukan?

Kalau memang tepat…

Kenapa setiap melewati lorong Gedung Student Center, yang teringat adalah tubuh tinggi besar dengan punggung yang lebar itu? Kenapa setiap minum es kopi, yang teringat adalah senyuman manis dengan bibir yang belepotan es krim choco mint? Kenapa setiap berada dalam perpustakaan kampus, yang teringat adalah wajah serius yang sedang berkonsentrasi penuh ketika persiapan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi? Kenapa setiap melihat zebra cross di jalanan depan gerbang kampus, yang teringat adalah tangan hangat yang selalu reflek menggenggam tangannya ketika mereka menyeberangi jalan?

Bahkan, kenapa setiap melihat pintu kamar kosnya, yang teringat adalah mata hijau muda berkilauan dan juga pelukan hangat itu?

Kenapa?

I've tried to run from your side But each place I hide It only reminds me of you When I turn out all the lights Even the night It only reminds me of you

Only Reminds Me of You – MYMP

Pada hari itu, Ymir pulang ke kosan ditemani pacarnya setelah selesai melakukan sedikit kegiatan di biro mereka. Seperti biasanya, Bertholdt selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersama dengan Ymir, walaupun dia sudah punya kesibukan tambahan sebagai Mapres.

Hari sudah semakin sore, udara pun semakin dingin. Mereka berjalan kaki bersama menuju kosan Ymir, tidak lupa dengan tangan hangat Bertholdt menggenggam milik Ymir.

“Dua minggu ke depan aku ga bisa anterin kamu pulang, ya. Aku, Armin, sama Mikasa mau ikut kompetisi nasional, jadi kami mau fokus ke persiapannya. Mungkin aku pulang malem terus.”

Gadis itu tidak segera menjawab, seperti sedang berada dalam dunianya sendiri.

“Ymir?”

“...hm? Oh. Iya, oke.”

Bertholdt mempererat genggamannya pada tangan Ymir. “Lagi ada pikiran?”

Lagi-lagi si gadis hanya diam.

“Kamu laper, ga? Cobain makan ke Warung Om Flegel, yuk.” Bertholdt mencoba menghibur pacarnya.

”Gue sayang Bert, gue ga mau sahabat gue sedih.”

“Kata Reiner di sana roti bakarnya enak. Jean juga pernah bilang nasi goreng omeletnya lumayan.”

“Kalo lu ga bisa bales usaha dia, yaudah lepasin dia biar dia cari orang lain yang lebih bisa hargain dia.”

“Aku mau nyobain roti bakarnya pake topping es krim choco mint. Pasti enak. Oh iya, kamu mungkin bakal suka iced latte-nya juga—”

“Bert.” Ymir melepaskan tangannya dari genggaman Bert, membuat pemuda itu berhenti berbicara dan menoleh ke arahnya.

“Hm?”

Si gadis terlihat seperti ragu-ragu mengungkapkan yang dia pendam sejak tadi.

“Ymir? Kamu kenapa dari tadi—”

“Bert. Udahan, yuk.”

“Udahan? Maksudnya?”

“...Udahan pacarannya. Kita putus.”

Dan Bertholdt hanya bisa menganga.

“Sebentar. Sebentar, Ymir. Ini… kenapa? A-aku ada salah apa?”

“Ga ada. Lu ga ada salah sama sekali.”

“Terus kenapa? Please, kasih tau aku kenapanya. Aku banyak kurangnya, ya? Aku bosenin, ya?”

“Bukan sama sekali. Alesannya murni dari dalam diri gue sendiri, Bert. Gue…” Ymir menggigit bibirnya, kemudian menghela napas panjang. “Gue ga bisa move on.”

Bertholdt diam, menunggu lanjutan jawaban.

“Lu tau lah kalo gue sayang banget sama Historia. Mungkin orang-orang liatnya gue ke Historia kayak sahabat deket banget. Ya, itu bener. Tapi, sejujurnya, perasaan gue ke dia itu serius. Romantic feeling. Sedangkan ke lu, gue cuma anggep sebagai sahabat, ga bisa lebih. Gue pikir, gue ga bisa bohong terus ke lu, Bert. Lu baik banget, jadi ga adil kalo kita bareng terus tapi gue ga bisa balesnya.”

Ymir tidak mau melihat wajah pemuda itu secara langsung.

“Selain itu, gue juga ga sanggup jadi pengganti Annie.”

Ketika mengatakan hal itu, akhirnya Ymir mendongak dan melihat perubahan ekspresi Bertholdt.

“Gue ga bisa lupain Historia. Lu ga bisa lupain Annie. Kita sama-sama sayang sama orang lain. Gue pikir, ga sehat juga hubungan kayak gini. Makanya, mending kita udahan aja, ya.”

Ymir meninju bahu pemuda itu dengan bercanda, sambil tertawa walau dipaksakan.

“Dahahaha! Makasih ya udah nemenin gue selama ini! Semoga lu bisa dapet pasangan yang jauh lebih baik dari gue, yang bener-bener bisa hargain lu. Ya udah, gue duluan, ya. Bye!”

Ymir berlari menjauh dari pemuda itu tanpa memberinya kesempatan untuk merespon.

Setelah percakapannya dengan Reiner beberapa hari lalu, Ymir tidak berhenti memikirkan apa yang harus dia lakukan. Dua pilihan yang disebutkan pemuda itu, tidak dia putuskan saat itu juga. Dia bimbang.

Ymir terlanjur nyaman. Hari-harinya bersama Bertholdt selama beberapa bulan terakhir adalah hari-hari terbahagia dalam hidupnya.

Tapi selama itu pula, apakah dia benar-benar menyayangi pemuda itu?

Sebenarnya apa niat awalnya dulu? Sempat melupakan, Ymir mencoba mengingat-ingat kembali.

Ymir sangat menyayangi Historia. Sepertinya tidak ada orang yang tidak tahu hal itu. Mereka sudah bersahabat sejak SMA. Gadis mungil itu pernah menyelamatkan dirinya yang terkunci di ruang penyimpanan alat-alat olahraga akibat ulah para tukang bully di sekolahnya. Sejak saat itu, mereka mulai dekat. Ymir mulai membuka hatinya, setelah tahunan menyendiri. Historia mampu membuatnya secara perlahan melupakan kenangan pahit masa kecilnya dulu.

Kemudian, setelah makin mengenal Historia, Ymir semakin bisa relate dengan gadis itu karena ternyata mereka berdua sama-sama kesepian. Ibu Historia adalah istri kedua dari ayahnya, dan mereka tidak selalu ada untuk Historia meskipun hidup mereka bergelimang harta. Semakin mengenalnya, Ymir semakin jatuh cinta. Ymir paham bahwa perasaan itu bukanlah cinta kepada sahabat seperti pada umumnya, tapi lebih dari itu.

Dia tahu, Historia tidak merasakan hal yang sama. Walaupun sudah dia tunjukkan dengan berbagai sinyal dan perhatian, dia tetaplah dianggap sebagai sahabat. Lama kelamaan, Ymir menerima hal itu.

Tapi karenanya, perasaannya dia lampiaskan dengan cara membuat takut semua pemuda yang mencoba mendekati Historia. Selain karena memang dia cemburu, dia juga tidak rela Historia jatuh ke pelukan orang yang tidak tepat. Ymir yang dulu egois, hanya menginginkan Historia untuk dirinya sendiri.

Sampai sosok Reiner muncul dan berhasil merebut perhatian Historia dari dirinya. Pada awalnya Ymir sangat membenci Reiner. Penampakan pemuda itu sekilas memang tidak meyakinkan, dengan tubuh yang sangat besar bila dibandingkan dengan Historia, dan wajah yang menurutnya cukup menyeramkan. Seperti seseorang yang dengan mudah bisa menyakiti gadis mungilnya.

Tapi, ternyata Reiner menunjukkan niat baik yang kuat dan tidak pernah gentar walaupun Ymir sudah berusaha menghalanginya berkali-kali. Ketika Historia menunjukkan bahwa dia nyaman dengan keberadaan Reiner, dan bahkan mulai membuka hatinya, di situlah Ymir berpikir pada akhirnya Historia menemukan pasangan yang tepat. Pada akhirnya, Ymir harus merelakan gadis itu.

Kala itu, ketika Ymir bersama Bertholdt di Titan Cafe untuk sengaja membuntuti Historia dan Reiner, dia juga tidak tahu kenapa dengan tiba-tiba mengajak Bertholdt berpacaran dengannya. Keinginan itu seperti muncul begitu saja. Sama sepertinya yang selalu bersama dengan Historia, Bertholdt pun hampir selalu terlihat bersama dengan Reiner. Asumsi Ymir, Bertholdt merasakan hal yang sama dengannya bahwa mereka sama-sama kehilangan sahabat terdekat. Ymir tidak ingin benar-benar sendiri lagi seperti dulu ketika belum bertemu Historia. Dia mencari pendamping baru, pengganti sosok Historia.

Ymir tahu perasaan Bertholdt kepada Annie. Sangat jelas terlihat. Dan dia tahu, perasaan itu tidak berbalas. Karenanya, dengan licik Ymir menggunakan hal itu untuk memaksa Bertholdt menuruti keinginannya. Benar saja, pemuda itu menerimanya walaupun masih terlihat bingung. Ymir merasa berhasil mendapatkan yang dia inginkan.

Pada hari-hari pertama berpacaran dengan Bertholdt, tidak ada perubahan interaksi yang berarti. Hanya saja mereka jadi lebih sering ke manapun berdua. Karena Historia sudah resmi berpacaran dengan Reiner, maka gadis mungil itu tidak selalu bersama dengannya lagi. Sosok Bertholdt seperti berhasil menggantikan Historia. Ymir tidak sempat sendirian. Ymir tetap punya sosok yang menemaninya ke manapun. Baginya hal itu sudah cukup. Walaupun status mereka berpacaran, tapi dirinya hanya menganggap pemuda itu lebih seperti sahabat saja.

Tapi, semakin lama, kenapa pemuda itu semakin memperlakukannya dengan manis? Bertholdt mulai mengubah panggilan di antara mereka dari gue-lu jadi aku-kamu, memanggilnya dengan sebutan “sayang”, sering menggenggam tangannya dengan tangan yang besar dan hangat itu, sampai jadi pengingatnya untuk makan karena Ymir sering lupa.

Bukankah hubungan mereka ini hanyalah saling memanfaatkan? Ymir memanfaatkan Bertholdt sebagai pengganti Historia, dan Bertholdt memanfaatkan Ymir sebagai pengganti Annie. Bukan berarti hubungan ini menjadi serius, kan? Ymir tidak pernah menyangka bahwa Bertholdt benar-benar berlaku seperti pacarnya. Masa sih Bertholdt berubah jadi naksir kepadanya? Tidak mungkin, kan?

Hampir merasa baper, tapi Ymir suatu ketika tidak sengaja mendengar percakapan pacarnya dengan Annie. Bertholdt masih menyayangi Annie, walaupun kesehariannya dia juga manis dengan Ymir. Dia pikir, jago sekali Bertholdt ini bersandiwara.

Tapi, di saat dia mulai sedikit menghindari Bertholdt, peristiwa itu terjadi. Kejadiannya mirip sekali dengan kejadian dulu bersama Historia tapi jauh lebih berkesan, yaitu Bertholdt menyelamatkannya yang terkunci di gudang Himapa. Peristiwa itu sangat berbekas baginya, dan sampai terbawa mimpi. Dalam mimpi itu, sosok Bertholdt mengeluarkannya dari ruangan yang membuatnya merasa terkurung selama bertahun-tahun. Sosok Bertholdt seolah-olah adalah sosok yang ditunggunya selama ini.

Seolah-olah.

Percakapannya dengan Reiner, telah kembali mengingatkannya pada niat awal.

Ymir tidak pernah berpikir sebelumnya, apakah niat awalnya akan menyakiti Bertholdt? Selama ini dia hanya mementingkan kenyamanannya sendiri, tapi, tidak pernah memikirkan hal yang sebaliknya. Apakah Bertholdt juga merasakan kenyamanan yang sama? Bila mendengar cerita dari Reiner, mungkinkah sebenarnya Bertholdt merasa menderita dengan perlakuan darinya, tapi tidak pernah mau menyampaikannya?

Maukah Ymir berusaha untuk menyayangi Bertholdt?

Atau, apakah pemuda itu akan lebih bahagia tanpa dirinya?

Pada akhirnya, Ymir mengambil satu pilihan.

Sesuai dengan janji yang telah disepakati, Ymir dan Reiner bertemu di kantin kampus. Karena hari sudah sore, tidak banyak mahasiswa yang berkumpul atau nongkrong di sana. Mereka duduk agak jauh dari pusat keramaian supaya obrolan mereka bisa lebih fokus tanpa ada yang bisa mendengarkan.

Reiner membelikan Ymir es kopi less sugar extra ice kesukaannya (sesuai yang pernah diceritakan Bertholdt), dan disambut ucapan terima kasih dan cengiran dari gadis itu.

“Tumben bangeeett. Hahaa makasih ya, Reiner!”

“Giliran gini aja lu baru manggil gue pake nama asli. Biasanya juga Bagong atau Gorilla.” Komentar Reiner membuat Ymir tertawa geli.

“Jadi mau ngomongin apa tentang gue sama Bert?”

Reiner berpikir sebaiknya dia tidak perlu berbasa-basi dan langsung ke topik pembahasan.

“Ymir, gue mau lu jujur ya sama gue. Bagi lu, Bert itu apa?”

Ymir yang asyik menyeruput es kopi langsung berhenti dan buru-buru menelan cairan manis pahit itu. Cengirannya seketika memudar.

“G-gimana?”

“Bert. Bagi lu apa.”

“Pacar, lah.”

“Iya, itu jelas. Maksud gue, walau kalian pacaran, tapi Bert itu posisinya gimana di hati lu?”

“Hah? Dia…” Ymir tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Entah kenapa.

“Nah, kan. Dia malah bingung. Gini, Ymir. Ini bakal panjang, sih. Sori banget sebelumnya, tapi gue sempet denger percakapan lu sama Connie dan Sasha di sini. Lu bilang kalo… lu ga suka sama Bert, dan cuma manfaatin dia. Bener gitu, ya?”

Kebetulan sekali Reiner mendengarkan percakapan itu.

Gadis itu lagi-lagi tidak menjawab. Dia tidak bisa menjelaskannya, dan hanya duduk terdiam sambil menggenggam gelas es kopinya.

“Dengan sangat tiba-tiba, lu masuk ke kehidupan dia, dan ngajak dia buat jadi pacar lu. Padahal selama ini yang gue tau kalian itu cuma temen satu biro, dan ga pernah keliatan ada interaksi yang lebih dari itu. Beneran ga gue sangka, apalagi gue pernah denger kalo lu ga suka lawan jenis. Eh, sori-sori kalo ini menyinggung.”

“Ga, sih. Ga apa-apa.”

Ya, memang itulah gosip yang beredar di lingkungan kampus mereka. Ymir tidak pernah ambil pusing.

“Seperti yang mungkin udah lu tau, Bert selama ini kan naksir Annie.” Mendengar hal itu, Ymir tersentak dari lamunan sesaatnya. “Udah lama banget, dari kami kecil dulu. Dia ga pernah keliatan naksir cewek lain, bener-bener setia sama Annie. Karena mereka sahabatan, dia ga mau ngerusak itu semua cuma gara-gara perasaan dia. Dengan segala insecurity yang dia rasain, dia tau bahwa dia ga pernah punya kesempatan. Makanya selama bertahun-tahun dia ga ngelakuin apapun.”

Ymir masih tetap mendengarkan. Reiner lanjut berbicara, kali ini dengan sedikit tertawa.

“Gue udah pernah bilangin dia, kalo dia emang ngerasa ga punya kesempatan, cari cewek lain aja. Lah, mana gue sangka kalo itu bakal jadi lu, Ymir. Lu duluan lagi yang nembak dia, haha. Jadinya dia setuju buat pacaran sama lu, karena dia niatnya mau lupain Annie.”

Reiner menghirup kopi panas miliknya.

“Okelah, dia sendiri juga paham kalo hubungan kalian ini bukan didasari perasaan saling suka satu sama lain. Dia anggep lu ajak dia pacaran karena lu sekedar butuh temen, karena Hisu makin deket sama gue. Tujuan kalian judulnya sama-sama saling memanfaatkan. Tapi, ada bedanya. Dia manfaatin lu untuk ngelupain Annie, dengan cara perlakukan lu sebaik-baiknya laki-laki ke perempuan. Dia bener-bener berusaha jadi pacar yang baik buat lu. Ga mungkin ga sadar kan?”

Ymir langsung teringat momen-momen betapa manis Bertholdt memperlakukannya.

“Sedangkan, lu? Ternyata bukan cuma sekedar nyari temen, tapi lu manfaatin kebaikan dan keroyalan dia buat keuntungan lu sendiri tanpa usaha kasih yang terbaik juga ke dia. Ya ga seimbang, lah. Kayak cuma sisi dia aja yang semangat, tapi lu-nya sendiri ga peduli sama dia.”

Perkataan pemuda yang duduk di depannya ini menyadarkan Ymir. Selama ini, Bertholdt-lah yang selalu memperlakukannya dengan sangat manis. Tidak pernah ada penolakan bila Ymir meminta apapun darinya. Tapi, Ymir sendiri tidak demikian. Terlalu nyaman, tanpa pernah ada usaha untuk mengerti dan membalas semua kebaikan Bertholdt. Malah, dia masih suka keceplosan berkata kasar, yang bisa saja telah menyakiti hati pemuda itu.

“Bertholdt masih belum bisa ngelupain Annie, bahkan sampe sekarang.”

Berarti, setelah selama beberapa bulan ini mereka berpacaran, sosoknya belum bisa menggantikan Annie, begitu maksudnya?

“...maksud lu kasih tau gue gini apa?”

“Sampe sini lu paham kan harapannya Bert dalam hubungan kalian itu apa? Terus, menurut lu gimana? Pantes ga lu untuk dapet perhatian segitunya dari dia? Menurut lu, apa Bert ga buang-buang waktu pacaran sama lu? Lu ga bisa kasih apa yang dia harapkan selama ini. Apa ga lebih baik kalo dia cari kesempatan ke yang lain, supaya harapan dia terwujud?”

Ymir merasa dirinya sangat egois. Karena, sejujurnya, selama ini dia menikmati segala perhatian yang diberikan Bertholdt, tanpa pernah memikirkan perasaan pemuda itu.

“Misalkan, dia berhasil move on ke lu. Tapi kan, lu ga bisa bales perasaan dia. Apa pernah terlintas di pikiran lu kalo dia bisa sedih karena tau lu ga bisa sayang balik ke dia?”

Kepala Ymir tertunduk, lesu. Diam-diam ikut mempertanyakan dirinya sendiri.

“Ymir… Gue udah kenal dia dari kami kecil. Gue tau banget orangnya kayak gimana. Badannya doang yang gede, tapi hatinya lembut, penyayang, susah marah, gampang sedih. Dan, jarang banget dia bisa ekspresiin perasaannya sendiri. Kalo hatinya sakit, dia ga mau cerita. Dia pendam sendiri. Lu tau sendiri lah, ngeliat kesehariannya gimana. Jadi bisa dibayangin, kalo sampe dia sedih karena lu, bakal semenderita apa dia.”

Reiner menghela napas panjang.

“Gue cuma khawatir, dia bisa sedih kalo lanjutin hubungannya sama lu, orang yang dia harapkan jadi pengobat hati dia, tapi ternyata ga terlalu peduli sama perasaan dia. Dia pasti ga bisa gue bilangin tentang hal ini, karena memang dia senaif, sebucin, dan setolol itu. Makanya, sekarang gue ngomongin hal ini semua sama lu.”

“...Reiner, gue—”

“Gue minta maaf ya karena udah ikut campur dalam hubungan kalian. Gue ngomong gini ke lu, karena kalo ke Bert langsung dia ga akan mau dengerin gue. Gue sayang Bert, gue ga mau sahabat gue sedih. Sekarang, lu punya 2 pilihan. Tolong dipikirin baik-baik. Pilihan pertama, lu tetep lanjutin hubungan sama Bert, tapi lu janji untuk berusaha sayang ke dia dan lupain niat jelek lu di awal. Atau…”

Dengan tatapan memohon, Reiner menutup perkataannya pada sore itu sebelum pamit untuk pulang duluan.

“Pilihan kedua, lu mundur. Berhenti manfaatin dia, berhenti mainin perasaan dia. Kalo lu ga bisa bales usaha dia, yaudah lepasin dia biar dia cari orang lain yang lebih bisa hargain dia.”

Biasanya, ketika meminum es kopi, Ymir cepat sekali menghabiskan cairan kopinya dan selalu menyisakan es batu pada gelasnya. Tapi kali itu, semua es batu sudah terlanjur mencair sebelum dia habiskan semua cairan kopinya.

Ymir membuka kedua matanya, terbangun di atas tempat tidur yang empuk. Saat itu sudah pagi menjelang siang. Di dalam kamar tidak ada Historia. Gadis itu sudah mengirimkan chat ke Ymir bahwa dia mengikuti kelas pagi sehingga tidak bisa menemaninya. Dia juga bilang kalau suhu tubuh Ymir agak tinggi, dan tidak perlu masuk kelas untuk fokus beristirahat.

Ymir kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia teringat dengan mimpinya tadi malam. Mimpi itu sangat sering muncul sebagai bunga tidurnya secara random, entah ketika dia kelelahan atau bahkan dalam kondisi biasa saja. Mimpi itu sudah ada bertahun-tahun sejak kejadian waktu itu. Kejadian yang menyebabkannya memiliki ketakutan terhadap ruangan sempit dan tertutup.

Lalu, setelah mungkin ratusan malam dia mengalami mimpi yang sama tanpa bisa keluar dari ruangan sempit itu, akhirnya tadi malam peristiwanya berbeda. Akhirnya, ada sosok yang menolongnya keluar. Dia seperti mengenal sosok misterius itu, tapi entah kenapa namanya hanya berhenti di ujung lidah saja.

“Siapa ya sosok itu…?”

Menghela napas panjang, Ymir bangkit dari tempat tidurnya. Demamnya dirasakan sudah tidak terlalu tinggi, walau kepalanya masih sedikit pusing. Mungkin karena akhir dari mimpi tadi malam tidak seperti biasanya, perasaannya jadi lebih lega dan dia merasa lebih cukup beristirahat.

Perutnya sudah terasa lapar. Ymir berniat akan mengganti bajunya dan mencari makanan ke luar.

Tapi kemudian, dia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

“Ymir?”

Gadis itu mengenali suara yang memanggilnya.

Lalu seketika, Ymir seperti merasakan deja vu.

Seperti mimpinya tadi malam, di mana ada sosok yang memanggilnya dari luar dengan lembut.

Namun kali ini, Ymir yakin sekali siapa pemilik suara itu.

Begitu pintunya dia buka, terlihat sosok pemuda yang sangat dia kenal.

Sosok yang muncul di mimpinya tadi malam. Sosok yang menariknya dari kegelapan dan kesunyian, setelah bertahun-tahun bermimpi terkurung tanpa bisa keluar.

“Sayang, gimana keadaan kamu? Udah mendingan? Kamu pasti belum sarapan, kan? Aku bawain bubur ayam yang masih anget biar makannya lebih enak. Kata Hisu— Lho kok kamu nangis??”

Tanpa sadar, ternyata Ymir meneteskan air mata. Bertholdt yang khawatir memegang pipi pacarnya dengan kedua tangannya, sambil diusapnya air mata yang masih terus menetes.

Tangan pemuda itu kekar dan juga hangat. Rasanya sama persis seperti yang Ymir mimpikan tadi malam. Lalu matanya. Mata besar berselaput pelangi warna hijau muda berkilauan dengan sorot menenangkan.

“Badan kamu masih ga enak?”

Ymir tidak menjawab pertanyaan tersebut, tapi dia malah membenamkan wajahnya ke dada bidang Bertholdt dan melingkarkan tangan di pinggang pacarnya itu. Bertholdt reflek memeluknya balik sambil mengusap-usap kepala Ymir.

Kalau diingat-ingat, ini kedua kalinya mereka berpelukan sejak berpacaran. Yang pertama kali adalah malam sebelumnya, ketika Bertholdt baru membebaskan Ymir dari dalam gudang.

Sejujurnya Bertholdt merasa tersipu dengan posisi mereka sekarang. Ternyata, memeluk Ymir itu terasa sangat nyaman. Ymir pun berpikir demikian. Mereka berdua masing-masing sama-sama heran, kenapa berpelukan seperti ini tidak mereka lakukan saja dari awal dulu.

“Makasih, ya…”

“Makasih apa, sayang?”

“Makasih udah selalu ada… Setiap gue butuh seseorang, pasti lu selalu ada. Perlakuan lu baik banget ke gue, ga sepadan sama perlakuan gue ke lu. Pokoknya makasih banget, ya.”

“Kamu ngomong apa siih. Kamu lah yang udah baik banget ke aku. Ya jelas aku pasti akan selalu ada buat kamu, Ymir.”

Ymir pun akhirnya yakin, bahwa sosok penerang dalam gelap yang ditunggunya selama ini adalah… Bertholdt kekasihnya.

Krucuk krucuk krucuk.

“Hahaha! Adoh laper nih gue,” tawa Ymir seraya melepaskan tangannya dari pinggang Bertholdt.

“Ayo dimakan buburnya, nanti keburu dingin.”

“Hm, soal itu…”

“Kenapa, Yang?”

“Bubur yang dimaksud, itu bukan?”

Ymir menunjuk ke arah lantai, di mana sudah tergeletak kotak styrofoam yang sudah terbuka dan isinya berceceran di dalam kantong plastik pembungkusnya.

“Yaaahhh aku sampe ga sadar kalo buburnya jatoooh!”

“Salah gue sih karena tadi meluk tiba-tiba. Maaf, ya…”

“Aku juga minta maaf, ya. Tunggu sebentar aku mau beli lagi.”

“Bentar, bentar. Kita makan langsung di tempatnya aja. Tunggu ya gue mandi dulu.”

Setelah bergegas mandi dan mengganti pakaian, Ymir sudah siap untuk makan di luar bersama Bertholdt. Dia menghampiri pacarnya yang menunggu di teras kosan.

“Yuk.”

Mereka berjalan menuju penjual bubur sambil bergandengan tangan. Senyum tulus dari Bertholdt ketika memandang Ymir membuatnya mleyot untuk yang kesekian kalinya pada hari itu.

Won't you take me by the hand? Take me somewhere new I don't know who you are But I, I'm with you

I'm with You – Avril Lavigne

Gelap. Pengap. Sunyi.

Lapar. Haus. Sakit.

Tubuh yang sudah terlalu lemah itu bahkan tidak sanggup untuk menopang beratnya sendiri. Dia hanya meringkuk dalam kegelapan dan kesunyian. Sesekali terisak, tidak ada air mata yang keluar dari tubuh yang dehidrasi itu.

Dia sedang menanti, tapi tidak yakin dengan apa yang dia nanti.

Menanti untuk dipanggil Yang Maha Kuasa? Atau… menanti seseorang yang akan membukakan pintu lemari itu? Yang mana?

Oh iya ya, ini kan hanya mimpi.

Kejadian yang selalu berulang, berkali-kali. Mimpi yang terasa sangat panjang, di mana dia hanya bisa terbaring meringkuk, merasakan sakit yang nyata di sekujur tubuh dan juga perasaannya.

Hanya menanti, karena sebentar lagi juga terbangun, kok. Ini hanya mimpi.

Sudah biasa.

Tapi, mau sampai kapan?

Berkali-kali terjadi, tapi dia tidak melakukan apapun selain berdiam saja. Menunggu bangun sendiri. Kenapa dia tidak berusaha untuk meminta pertolongan ke luar?

Takut tidak ada yang menjawab, seperti biasanya.

Tapi, apa yang kali ini tidak mau dicoba dulu? Karena mau sampai kapan dia dihantui mimpi buruk tiada akhir ini?

Untuk pertama kalinya, dia mengangkat tubuh lemahnya dengan penuh perjuangan. Rasanya sangat berat dan sakit, tapi kali ini dia sudah bertekad. Dia harus melakukan sesuatu untuk bisa keluar dari situ.

Tangannya memukul pintu sambil berusaha dia serukan permintaan tolong dari dalam.

“Tolong…” Suaranya pelan sekali keluar.

Tapi hal itu tidak bisa lama dia lakukan karena lemah tubuhnya, dan dia kembali jatuh tersungkur.

“Siapapun, tolong…” Dia coba dengan suara sedikit lebih keras.

Haruskah dia kembali berdoa kepada Yang Maha Kuasa? Doanya tidak pernah dikabulkan.

Apa dia tidak pantas ditolong? Apa karena dia sudah jadi anak nakal dan tidak berguna?

Hampir lelah berdoa, tiba-tiba dia teringat dengan sosok seseorang. Seseorang dengan siluet yang tinggi besar. Seseorang, yang bisa saja menyelamatkannya.

Dari dalam dirinya timbul secercah harapan. Berharap Yang Maha Kuasa memberinya pertolongan, lewat seseorang itu.

Dia kembali berdoa, kali ini dengan penuh keyakinan dan harapan.

Lalu, keajaiban terjadi. Walaupun sayup-sayup, tapi dia bisa mendengar seseorang dari luar.

”....ir? Ymir…?”

Namanya dipanggil oleh seseorang itu. Suaranya terdengar maskulin, tetapi di waktu yang bersamaan juga lembut sekali.

Tiba-tiba saja, pintu di depannya seperti sedang dibuka. Bunyi deritan kayu memekakkan telinganya, dan perlahan cahaya yang awalnya membentuk garis vertikal itu jadi semakin besar.

Walau dia tidak bisa melihat dengan jelas dikarenakan begitu menyilaukannya cahaya itu, tapi dia tahu ada sosok yang sedang berdiri di hadapannya. Sosok itu mengulurkan tangannya.

Tanpa ragu, dia menerima uluran tangan tersebut. Tangan yang kekar, dan juga hangat. Hanya dengan tangan itu saja, sudah sangat membuat dia merasa begitu aman.

Ketika matanya sudah semakin terbiasa dengan cahaya dari luar, barulah sosok misterius itu mulai sedikit lebih jelas. Tapi, hal yang diingatnya terlihat hanyalah kedua mata sosok itu yang besar, berselaput pelangi warna hijau muda berkilauan dengan sorot yg menenangkan.