Udahan, Yuk

Pada hari itu, Ymir pulang ke kosan ditemani pacarnya setelah selesai melakukan sedikit kegiatan di biro mereka. Seperti biasanya, Bertholdt selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersama dengan Ymir, walaupun dia sudah punya kesibukan tambahan sebagai Mapres.

Hari sudah semakin sore, udara pun semakin dingin. Mereka berjalan kaki bersama menuju kosan Ymir, tidak lupa dengan tangan hangat Bertholdt menggenggam milik Ymir.

“Dua minggu ke depan aku ga bisa anterin kamu pulang, ya. Aku, Armin, sama Mikasa mau ikut kompetisi nasional, jadi kami mau fokus ke persiapannya. Mungkin aku pulang malem terus.”

Gadis itu tidak segera menjawab, seperti sedang berada dalam dunianya sendiri.

“Ymir?”

“...hm? Oh. Iya, oke.”

Bertholdt mempererat genggamannya pada tangan Ymir. “Lagi ada pikiran?”

Lagi-lagi si gadis hanya diam.

“Kamu laper, ga? Cobain makan ke Warung Om Flegel, yuk.” Bertholdt mencoba menghibur pacarnya.

”Gue sayang Bert, gue ga mau sahabat gue sedih.”

“Kata Reiner di sana roti bakarnya enak. Jean juga pernah bilang nasi goreng omeletnya lumayan.”

“Kalo lu ga bisa bales usaha dia, yaudah lepasin dia biar dia cari orang lain yang lebih bisa hargain dia.”

“Aku mau nyobain roti bakarnya pake topping es krim choco mint. Pasti enak. Oh iya, kamu mungkin bakal suka iced latte-nya juga—”

“Bert.” Ymir melepaskan tangannya dari genggaman Bert, membuat pemuda itu berhenti berbicara dan menoleh ke arahnya.

“Hm?”

Si gadis terlihat seperti ragu-ragu mengungkapkan yang dia pendam sejak tadi.

“Ymir? Kamu kenapa dari tadi—”

“Bert. Udahan, yuk.”

“Udahan? Maksudnya?”

“...Udahan pacarannya. Kita putus.”

Dan Bertholdt hanya bisa menganga.

“Sebentar. Sebentar, Ymir. Ini… kenapa? A-aku ada salah apa?”

“Ga ada. Lu ga ada salah sama sekali.”

“Terus kenapa? Please, kasih tau aku kenapanya. Aku banyak kurangnya, ya? Aku bosenin, ya?”

“Bukan sama sekali. Alesannya murni dari dalam diri gue sendiri, Bert. Gue…” Ymir menggigit bibirnya, kemudian menghela napas panjang. “Gue ga bisa move on.”

Bertholdt diam, menunggu lanjutan jawaban.

“Lu tau lah kalo gue sayang banget sama Historia. Mungkin orang-orang liatnya gue ke Historia kayak sahabat deket banget. Ya, itu bener. Tapi, sejujurnya, perasaan gue ke dia itu serius. Romantic feeling. Sedangkan ke lu, gue cuma anggep sebagai sahabat, ga bisa lebih. Gue pikir, gue ga bisa bohong terus ke lu, Bert. Lu baik banget, jadi ga adil kalo kita bareng terus tapi gue ga bisa balesnya.”

Ymir tidak mau melihat wajah pemuda itu secara langsung.

“Selain itu, gue juga ga sanggup jadi pengganti Annie.”

Ketika mengatakan hal itu, akhirnya Ymir mendongak dan melihat perubahan ekspresi Bertholdt.

“Gue ga bisa lupain Historia. Lu ga bisa lupain Annie. Kita sama-sama sayang sama orang lain. Gue pikir, ga sehat juga hubungan kayak gini. Makanya, mending kita udahan aja, ya.”

Ymir meninju bahu pemuda itu dengan bercanda, sambil tertawa walau dipaksakan.

“Dahahaha! Makasih ya udah nemenin gue selama ini! Semoga lu bisa dapet pasangan yang jauh lebih baik dari gue, yang bener-bener bisa hargain lu. Ya udah, gue duluan, ya. Bye!”

Ymir berlari menjauh dari pemuda itu tanpa memberinya kesempatan untuk merespon.