BeruAru
Kompetisi untuk para mahasiswa berprestasi se-nasional diadakan di Marley, tepatnya kota Liberio, selama 3 hari. Perwakilan dari Universitas Paradis adalah Top 3 Mahasiswa Berprestasi, yaitu Bertholdt, Armin, dan Mikasa.
Sejak mereka melakukan pelatihan di kampus, sampai tiba di masa kompetisi di Marley, Armin memperhatikan sikap Bertholdt yang tiba-tiba berubah dari biasanya. Dia jadi lebih banyak murung, dan hanya berbicara seperlunya. Begitupun ketika mereka berdiskusi untuk proyek yang akan mereka presentasikan, Bertholdt sering melamun dan kurang fokus, sampai beberapa kali ditegur oleh Mikasa.
Ketika ditanya apa sebabnya, Bertholdt mengaku tidak terjadi apa-apa. Barulah ketika Armin bertanya kepada pacarnya, Annie, dia tahu bahwa alasan Bertholdt seperti itu pasti karena dia baru putus dari Ymir.
Sampai di situ, Armin tidak mau mengorek informasi lebih jauh lagi. Dia menghargai privasi Bertholdt.
Tapi lama kelamaan, Armin mulai merasa kalau ketidakfokusan Bertholdt ini sudah terlalu lama, dan dikhawatirkan akan mengganggu kompetisi mereka.
Ketika sampai di Marley, mereka tinggal di asrama kampus milik Universitas Marley, dan Armin sekamar dengan Bertholdt. Dia menggunakan kesempatan itu untuk berbicara dari hati ke hati kepada si pemuda bongsor.
“Bertholdt,” panggil Armin, membuat pemuda yang duduk di kursi belajar kamar mereka menoleh. Armin sendiri duduk di pinggir tempat tidurnya.
“Ya, Ar?”
“Sori yang kalo perkataan gue ini mungkin nyinggung lo. Tapi Bert, beberapa minggu ini gue perhatiin kalo lo sering keliatan kurang fokus sama kompetisi ini. Kalo gue boleh tebak, ini karena lo putus dari Ymir, bukan?”
Bertholdt diam sejenak, tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari lisan Armin.
“...keliatan banget, ya?”
“Bukan keliatan lagi. Lo jadi berubah. Lebih sering bengong, terus suka ga dengerin kalo kita bertiga lagi diskusi. Padahal kita mau kompetisi, lho. Emang sih, ga muluk-muluk mau menang, tapi kita kan tetap harus berikan yang terbaik.”
Pemuda yang duduk di kursi tertunduk sejenak, sambil tetap mendengarkan si pemuda rambut pirang.
“Gue sih berharap urusan pribadi lo ga ngeganggu kompetisi kita ini, dan gue mohon lo bisa lebih fokus lagi untuk ke depannya.”
“Thanks ya Ar atas reminder-nya. Iya… Gue harusnya ga boleh kayak gini. Maaf banget. Padahal udah sering ditegur Mikasa.”
Armin merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata. Besok adalah hari pertama kompetisi. Mereka harus segera beristirahat.
“Armin?”
“Ya?” Bertholdt tiba-tiba memanggilnya, membuat matanya kembali terbuka.
“Menurut lu, gue ini pengecut bukan?”
“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”
“Gue… waktu Ymir minta kami putus, gue shock. Sampe ga bisa jawab, apalagi ngejar dia. Gue insecure sama diri gue sendiri, yang ada gue malah nyalahin diri sendiri. Gue ngerasa ga pantes buat cewek sebaik dan sesempurna dia.”
Armin sudah di posisi duduk kembali, dan mendengarkan Bertholdt dengan seksama.
“Harusnya dia bisa gue tahan waktu itu. Tapi gue terlalu takut, terlalu pengecut. Padahal, alasan yang dia kasih ke gue itu ga bener. Dia bilang, dia ga bisa jadi pengganti Annie buat gue, padahal gue udah sepenuhnya move on ke dia.” Sepersekian detik kemudian Bertholdt tersadar dengan perkataannya, dan menutup mulutnya.
Annie kan pacarnya Armin.
Tapi ketika dia melihat Armin, pemuda itu hanya mengangguk dan tetap memperhatikan Bertholdt seperti biasa saja.
“Sori… Gue ga ada maksud, beneran…”
“Bert, gue udah tau kalo soal itu.”
“Eh?”
“Iya, itu udah jadi rahasia umum. Dan itu juga yang bikin gue makin gencar deketin Annie.”
Armin menggaruk-garuk tengkuknya sambil tertawa sedikit.
“Kalo boleh cerita sekilas, dulu kan gue naksir juga ya sama Annie, sejak Mikasa kenalin gue ke dia. Tapi, Annie punya 2 bodyguard ternyata, yaitu lo dan Reiner. Kalo Reiner keliatan udah kasih lampu hijau nih, tapi lo yang gue khawatirin. Gue tau perasaan lo ke dia. Dan lo sahabat dia, orang yang dekat sama dia. Jujur, gue iri sama lo.”
Iri? Seorang Armin? Kepadanya?
“Becanda banget lu, Ar. Kebalik itu, mah.”
“Gue serius… Gue bener-bener iri sama lo. Lo tuh tenang, pinter, efisien, jago olahraga, cepet banget nyerap informasi. Dan untuk alasan yang lebih personal, badan lo tinggi, atletis, ga kayak gue yang pendek dan klemer-klemer ini.”
Bertholdt masih tidak bisa mempercayai pengakuan Armin barusan.
“Gue khawatir banget cowok perfect kaya lo bisa dapetin Annie, haha. Makanya gue manfaatin posisi gue sebagai Ketua Himapa dan jadi punya kesempatan lebih luas buat deketin dia. Waduh, gue jadi ngaku deh kalo gue sempet abuse of power.”
Armin menggaruk-garuk lagi tengkuknya.
“Lho? Jadi gue yang curhat. Haha, kebiasaan, nih… Sori, Bert. Malah jadi ga fokus sama cerita lo.”
“Gue masih ga percaya. Lu, Ar? Iri sama gue? Selama ini yang ada gue yang iri sama lu.”
“Hahaha… Ya, begitulah. Biasanya rumput tetangga memang lebih hijau. Oh iya, satu lagi. Waktu lo juara Mapres beberapa waktu lalu, kalo boleh jujur lagi, gue terpukul banget ga bisa jadi juara. Gue sampe dimarahin sama Annie karena gue ga bisa bersyukur.”
Armin tergelak melihat ekspresi tidak percaya dari Bertholdt.
“Tadi lo bilang kalo lo insecure, ya? Padahal sih gue ga liat ada hal yang perlu lo khawatirin dari diri lo. Ini… bisa dibilang jadi reminder buat diri gue juga, sih. Kita jangan selalu ngebanding-bandingin diri kita sama orang lain. Daripada insecure, lebih baik kita syukuri apa yang udah Tuhan kasih, karena tiap orang punya keunikan dan kelebihan masing-masing. Dan kita jangan berhenti untuk perbaiki apa yang menurut kita kurang dari diri kita.”
Kembali Armin merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil menarik selimut.
“Poin gue, lo pantes buat Ymir. Ymir pantes buat lo. Lo bukan pengecut, selama lo sadar kalo lo salah langkah, dan mau perbaiki hal itu. Kalo lo masih sayang sama dia, dan mau dia balik ke pelukan lo, ya gas aja. Belum terlambat, kok. Mungkin ga sih, kalo dia diem-diem juga ngerasa insecure, atau juga bingung sama diri dia sendiri? You have to find it out yourself. You have to convince her, that you love her. That she’s your Goddess. That she’s everything you’ve been thinking of.”
Bertholdt menyesal, kenapa tidak dari dulu saja dia curhat seperti ini ke Armin??